Di antara kebiasaan yang dilakukan generasi salafus shalih adalah
menjauhi debat yang tidak bermanfaat serta menjauhi
perselisihan-perselisihan atau cekcok dalam urusan agama. Mereka
melarang keras perbuatan tersebut dan mengingkari orang-orang yang
melakukannya. Dalam kitab Fadlu Ilmi Salaf, Ibnu Rajab berkata bahwa di
antara hal-hal yang dibenci oleh generasi salaf adalah debat kusir dan
cekcok dalam permasalahan-permasalahan halal dan haram. Dan hal itu
bukanlah jalan yang ditempuh oleh para imam kaum muslimin, akan tetapi
baru muncul pada generasi setelah mereka.
Imam Malik menegaskan hal yang penting ini, sebagaimana dinukil oleh
Imam as-Satibi dalam kitab al-’Itisom bahwa debat yang tidak berguna itu
tidak termasuk dalam bagian agama sama sekali (bid’ah). Imam al-Lalikai
menukil perkataan Imam Malik dalam kitab Syarhul Usul I’tiqad
Ahlussunnah wal Jamaah berkata,
“Aku membenci debat dalam permasalahan-permasalahan
agama. Dan penduduk negri kita (Madinah) senantiasa membenci dan
melarangnya, seperti berdebat seputar pemikiran Jahmiah dan Qadariah dan
yang semacamnya. Dan aku membenci perbincangan, kecuali perbincangan
yang akan mendatangkan manfaat berupa amal.”
Ibnu Abdil Bar menyatakan dalam kitab beliau Jami al-Bayan al-Ilmi, menukil perkataaan Imam Ahmad bahwa beliau berkata,
“Berpeganglah kalian dengan atsar sahabat dan al-hadits,
dan sibukkanlah diri kalian dengan hal-hal yang bermanfaat. Jauhilah
berbantah-bantahan, karena orang yang suka berdebat tak akan pernah
beruntung.”
Beliau juga berkata,
“Tak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat. Dan
tidaklah engkau menjumpai seseorang yang suka berdebat kecuali di
hatinya tersimpan sebuah penyakit.”
Imam al-Ajuri di dalam kitab beliau asy-Syari’ah, menyinggung pokok
yang penting ini. Dia menukil perkataan Imam al-Auzai yang berkata,
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada jejak generasi
salaf walaupun kalian ditinggalkan manusia. Dan janganlah kalian tergiur
oleh pendapat-pendapat orang belakangan walaupun dipoles dengan
ungkapan-ungkapan indah.”
Inilah jalan para generasi Salafus shaleh. Mereka melarang manusia
dari debat sia-sia tentang agama. Dan keengganan mereka untuk berdebat
itu bukanlah karena mereka itu bodoh atau karena takut kepada manusia
atau karena tidak mampu sebagaimana diduga oleh sebagian orang bodoh.
Tetapi mereka mengekang dari hal itu semata-mata takut kepada Allah.
Sebagaimana dinukil Imam al-Ajuri dalam kitab beliau asy-Syari’ah
dari Ibnu Sirrin, beliau berkata kepada seseorang yang mengajak beliau
untuk berdebat,
“Aku mengerti apa yang engkau inginkan; dan sebenarnya
aku lebih pandai bersilat lidah daripada kamu, tetapi aku tidak
berselera untuk berdebat denganmu.”
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau Fadlu Ilmi Salaf menegaskan
ketentuan ini dan membantah orang yang menuduh bahwa generasi salaf
(karena tidak banyak bicara) sebagai orang yang lemah dan bodoh. Beliau
berkata,
“Sungguh telah terfitnah orang banyak dari generasi
kiwari ini dengan penyakit suka bedebat atau berbantah-bantahan. Mereka
menyangka bahwa orang yang banyak bicara dan berdebat dalam masalah
agama adalah lebih alim dari orang yang tidak banyak bicara dan
berdebat. Hal ini sangat bodoh karena komentar-komentar generasi tabi’in
lebih banyak dari pada komentar para sahabat, padahal para sahabat
lebih alim dari tabi’in; dan begitu pula komentar-komentar generasi
tabiut tabi’in lebih banyak dari generasi tabi’in, padahal generasi
tabi’in lebih alim dari generasi tabiut tabi’in.”
Maka banyaknya ilmu itu tidak bisa diukur dengan banyaknya komentar
dan riwayat, karena ilmu itu adalah merupakan cahaya yang terpendam di
hati. Dengan ilmu itu seseorang dapat memahami kebenaran dan dapat
membedakan antara yang haq dan yang bathil dan kemudian dengan ilmunya
dia bisa mengungkapkan secara ringkas dan mudah difahami. Rasulullah
sendiri adalah orang yang diberikan oleh Allah, jawaami’ul kalim
(ucapan-ucapan ringkas dan padat) dan berkata dengan perkataan yang
pendek. Oleh karenanya terdapat larangan dari Rasulullah agar jangan
banyak bicara dan menyibukkan diri dengan qila wa qola (yakni
menyebarkan berita yang belum pasti dan tidak berguna).
Maka menjadi sebuah keharusan untuk meyakini bahwa tidak mesti orang
yang lebih banyak ulasannya terhadap suatu ilmu lebih alim dari orang
yang tidak banyak berkomentar. Dan sungguh sekarang ini kita telah
tertimpa musibah berupa banyaknya orang-orang bodoh yang yakin bahwa
sebagian orang yang banyak mengeluarkan analisa dan pendapat lebih alim
daripada ulama-ulama salaf. Ini adalah merupakan pelecehan berat
terhadap salafus shalih, berburuk sangka kepada mereka dan memberikan
predikat buruk kepada mereka berupa kejahilan dan minimnya ilmu.
Faktor Diamnya Para Salaf Dari Perdebatan Atau Berbantah-Bantahan
Para salafus shalih senantiasa menjauhi debat atau berbantah-bantahan
tentang masalah agama, karena banyak debat itu akan mendatangkan
musibah berupa kegoncangan hati, sehingga hati tersebut tidak bisa kokoh
untuk berpijak di atas suatu prinsip. Sebagaimana dinukil oleh Imam
al-Ajuri dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata bahwa barang siapa suka
berdebat maka dia akan sering berubah prinsip.
Selain itu banyak berdebat akan membawa seseorang terjerumus ke dalam
kesesatan dan kerancuan antara yang haq dan yang bathil. Sehingga Imam
Abu Qilabah berkata sebagaimana dinukil oleh al-Ajuri di dalam kitab
As-Syari’ah,
“Janganlah kalian berbincang-bincang tentang masalah
agama dengan ahli bid’ah. Dan jangan pula melakukan perdebatan dengan
mereka, karena tidak akan menjamin kalian bisa selamat dari keburukan
mereka. Juga karena mereka akan berusaha membenamkan kalian kedalaam
lumpur kesesatan dan membuat kalian bingung serta ragu terhadap sebagian
urusan agama kalian sebagaimana halnya mereka.”
Dan begitu pula perdebatan akan mengakibatkan timbulnya rasa
kebencian dan permusuhan di hati. Imam Malik menuturkan dalam kitab
al-Ibanah bahwa berbantah-bantahan tentang sebuah ilmu akan menyebabkan
hati menjadi keras dan memicu timbulnya kedengkian.
Perincian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Tentang Manhaj Ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimi menjelaskan bahwa salafus shalih adalah
orang-orang yang tidak menyukai debat dan perselisihan dalam agama,
namun demikian terkadang mereka mau berdebat dan adu hujjah, jika memang
dibutuhkan dan terpaksa atau dalam rangka mengenyahkan kerusakan dan
kebathilan.
Beliau berkata lagi di dalam kitab Darut Ta’arud an Naqli wal ‘Aqli,
bahwa sesuatu yang tercela menurut kacamata syar’i adalah sesuatu yang
dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti debat dalam rangka membenarkan
yang bathil dan debat kusir (tanpa ilmu) dan mendiskusikan sebuah
kebenaran yang jelas dan gamblang (seperti wajibnya shalat dan
lain-lain).
Adapun debat yang sesuai syari’at (dalam rangka mendakwahi
orang-orang jahil, atau dalam rangka sama-sama mencari kebenaran) adalah
yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya,
“Mereka berkata, Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah
berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap
kami.” (QS. Hud:32)
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim
untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki
beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. (QS. al-An’am:83)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat
Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada
orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku
ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata, Saya dapat
menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu
heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:258)
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
(QS. an-Nahl:125)
…dan ayat-ayat lain yang semisalnya. Bahkan justru merupakan sesuatu
yang wajib atau mustahab (yang dianjurkan). Jidal (adu hujjah) seperti
ini tidaklah dilarang dan dicela oleh syari’at.
Beliau juga berkata,
“Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat
adalah yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat untuk
melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain) atau perdebatan yang
tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti; berdebat dengan orang yang
tidak menginginkan kebenaran, serta berdebat untuk saling unjuk
kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri)
dan kesombongan.
Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum
pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada
kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka
hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.
Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang
tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa
mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang
merupakan sesuatu yang bathil.”
[Diringkas dan diterjemahkan dari tulisan Dr.‘Adil al-Muthayyarot dalam Majalatil Furqaan ‘adad 227]
Sumber:
http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg00697.html
salam dari saya: Ahmad Zakariya