"Sejak Era Reformasi, Demokrasi di Indonesia sepertinya
bangkit dari tidur panjang. Banyak hal yang berubah dalam wajah
demokrasi di negeri ini sejak tergulingnya orde baru. Salah satu hal
yang menunjukan perubahan besar adalah media massa, mereka seakan-akan
terbebas dari kekangan selama beberapa dekade. Suara media sepertinya
lebih lantang, bahkan dalam kondisi tertentu bisa sangat berani".
Program-program televisi yang mengangkat semangat demokrasi hadir di
ruang keluarga masyarakat setiap hari. Salah satunya adalah acara
diskusi atau debat. Hasrat rakyat untuk berpesta dalam kebebasan
berpendapat ditangkap oleh industri pertelevisian. Kegemaran masyarakat
tentang diskusi dan perbedatan disambut oleh pelaku bisnis media
televisi dengan menyajikan program yang bertajuk diskusi atau bahkan
lebih sering tentang perdebatan.
Semangat yang menggelora akan kebebasan berekspresi bertemu dengan
media massa, terutama televisi, di mana televisi saat ini sangat sulit
untuk dilepaskan dari dominasi akan unsur industri. Maka, mau tidak mau,
suka ataupun tidak, pertemuan dua hal ini lantas akan memasukan unsur
pertunjukan dalam setiap acara-acara yang disajikan.
Konsep yang sering ditawarkan ke masyarakat oleh media televisi saat
ini sering sangat atraktif. Peserta diskusi atau debat di televisi
dibelakang panggung menyiapkan materi, belajar menyusun kata dan lain
sebagainya, sementara tuan rumahnya sibuk mempersiapkan konsep yang bisa
menarik penonton sebanyak-banyaknya.
Maka tidak perlu heran saat beberapa tahun yang lalu, ada sebuah
acara televisi swasta yang bertajuk debat, di mana dalam acara tersebut
dua kubu yang saling berdebat dimulai atau diakhiri oleh sebuah tanda
berupa bel yang bunyi dan cara membunyikan sama dengan bunyi bel yang
ada di sisi ring tinju. Debat atau diskusi yang disajikan lantas bukan
lagi dikesankan sebagai sebuah adu pendapat, namun sudah seperti sebuah
pertandingan, sebuah tontonan.
Belakangan juga sangat marak muncul di layar kaca sebuah acara debat
yang dihadiri para calon kepala daerah. Fenomena ini sepertinya menjadi
sebuah tren dalam dunia perpolitikan kita, hal ini terjadi sejak adanya
debat calon Presiden Republik Indonesia beberapa tahun lalu.
Jika disimak, acara perdebatan para calon kepala daerah bahkan calon
Presiden tersebut sudah mengalami degradasi pada tujuannya. Pendukung
yang hadir di depan panggung bersorak sorai dengan segala atributnya.
Para pendukung kandidat yang hadir dalam perdebatan tersebut sepertinya
sama sekali dihadirkan tidak untuk mendengarkan esensi diskusi, mereka
seperti sebagian dari penyemarak sebuah tontonan.
Penonton di rumah kemudian juga sebagian besar terjebak pada situasi
ini. Debat calon kepala daerah ataupun debat-debat dengan teman lainnya
kerap kali hadir dengan tujuan untuk siapa yang menang. Perdebatan
ataupun diskusi lebih cenderung unsur kebisingannya dibanding dengan
kekuatan argumentasi. Penonton menunggu jagoannya bisa menjatuhkan lawan
diskusinya dan akan bertepuk tangan gembira jika lawan kalah atau
bahkan mereka menginginkan lawan jatuh pada titik keterhinaan.
Dalam situasi yang sudah semacam ini, lantas yang sering menjadi
muncul adalah sebuah pertanyaan mendasar: apakah tujuan dari perdebatan
di televisi-televisi itu? Apakah harus ada yang menang dan yang kalah?
Lantas bagaimana penilaianya?
Jika melihat kualitas perdebatan dan diskusi yang sering munjul di
televisi kita saat ini, maka sepertinya kita sesegera mungkin menghapus
optimisme tentang akan adanya konsesus setelah sebuah diskusi selesai.
Diskusi yang pada akhirnya bisa bertujuan untuk mempertemukan dua
pendapat yang berbeda, lantas menghasilkan sebuah kesepakanan, namun
yang sering terjadi malah sebaliknya.
Setiap perdebatan memang tidak selalunya harus berakhir pada sebuah
titik dimana kedua kubu menjadi menyakini sebuah pendapat yang sama.
Sebuah diskusi harusnya minimal bisa menelurkan sebuah pemahaman pada
diri: “Oh, karena itu dia berbeda dengan saya”. Teramat sulit jika harus
dipaksakan untuk bisa sepaham dalam durasi diskusi yang sedemikian
pendek, namun menamkan di hati sebuah tujuan sebelum memulai diskusi
bahwa tujuannya tidak harus tentang lawan dipaksa satu pendapat dengan
kita.
Melangkah masuk ke sebuah perdebatan sering kali tidak harus tentang
penguasaan kita tentang materi, akan tetapi juga menekankan pada diri
sendiri bahwa ada hal yang jauh lebih tinggi nilainya dibanding hanya
sebuah ekspresikan pendapat yang diyakini.
“Jika ingin benar-benar ingin tau rasa teh yang dimiliki orang lain,
maka kosongkan cangkir anda”. Itu sebuah wejangan yang sangat patut
untuk kita pertimbangkan untuk kita bawa sebelum hadir atau mengikuti
sebuah diskusi atau debat. Perdebatan tidak selalu tentang orang lain
harus mengerti pendapat kita, namun juga tentang kita yang bisa memahami
pendapat orang lain.
Kembali tentang televisi, jika diskusi dan perdebatan dikemas secara
“konservatif”, bahwa debat adalah tentang memahami pendapat orang lain
dan jauh dari unsur “pertempuran” maka hal itu tidaklah sejalan dengan
semangat media televisi yang belum bisa terlepas dari dominasi akan
komersialisasi.
Televisi mungkin tidak serta merta menolak tujuan mulia akan sebuah
diskusi. Akan tetapi jika kemasannya terlalu biasa, maka kesan atraktif
yang diinginkan dan ditekankan dalam industri ini tidak akan hadir.
Televisi sepertinya sangat enggan jika kehilangan unsur tontonannya,
harus ada yang bersifat sensasional sehingga penonton rela untuk berada
di channel mereka.
Tujuan murni akan dialog dan diskusi akan tersandera oleh kekuatan
komersialisasi yang dituntut oleh media televisi, maka suka ataupun
tidak yang terjadi saat ini adalah sebuah pendangkalan makna akan sebuah
diskusi.
Maka jangan terlalu heran ketika “quality control” mereka
kurang maksimal terhadap materi diskusi atau orang-orang yang diundang
untuk hadir dalam diskusi . Mereka tidak boleh kehilangan unsur
sensasional dan atraktif dalam mengkonsep sebuah acara diskusi. Tema
yang dihadirkan harus menggelegar, orang-orang yang diundang juga harus
punya kekuatan sensasionalitas.
Berdasar hal tersebut, maka akan sering kita jumpai diskusi dengan
tema yang dangkal dan yang diundang adalah mereka yang kurang kompeten.
Bisa juga sering dijumpai, televisi sering menghadirkan mereka yang
punya track record yang kurang baik dalam kesantunan ataupun
kesopanan. Tetapi, kembali masalah sensasional tadi, maka orang-orang
semacam ini yang malah sering diberi panggung.
Kejadian beberapa bulan lalu, di sebuah acara siaran langsung di
sebuah televisi swasta di mana dalam diskusi tersebut terjadi peristiwa
yang memalukan. Sosiolog Tamrin Tomagola di siram segelas air minum oleh
juru bicara Fron Pembela Islam (FPI), Munarman.
Dalam semangat demokrasi, memang semua orang punya hak untuk
berpendapat. Akan tetapi, televisi sebaiknya juga tanggung jawab moral
terhadap kualitas tontonannya. Televisi sebaiknya sudah mengetahui track record orang
yang akan diundang dalam acaranya dan di sini lah tanggung jawab moral
itu dituntut, bahwa mereka sepatutnya mempertimbangkan dengan matang
tentang siapa saja yang pantas untuk diberi panggung.
Namun, apakah benar-benar televisi kita mampu mengedepankan tanggung
jawab moral tersebut, atau masih saja terbelenggu oleh tekanan yang kuat
dari kekuatan komersialisasi?
----------------------------------------------------------------------
Mari Kita mempelajari Qoul / Dawuh / Ucapan / Wasiat Nabi, Ulama' Salafush Sholeh anjuran meninggalkan Debat Kusir.
1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam
“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar.
Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang
meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan
menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang
membaguskan akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)
2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu
dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan
permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.”
[Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa
“Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu
mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah
dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”
[al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]
4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu
“Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan
engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya.
Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu
selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan
dalam dzikir tentang Allah.”
[Darimi: 299]
5. Muslim Ibn Yasar rahimahullah
“Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]
6. Hasan Bashri rahimahullah
Ada orang datang kepada Hasan Bashri rahimahullah lalu berkata,
“Wahai Abu Sa’id kemarilah, agar aku bisa mendebatmu dalam agama!”
Maka Hasan Bashri rahimahullah berkata:
“Adapun aku maka aku telah memahami agamaku, jika engkau telah menyesatkan (menyia-nyiakan) agamamu maka carilah.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 588]
7. Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah
“Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565]
8. Abdul Karim al-Jazari rahimahulah
“Seorang yang wira’i tidak akan pernah mendebat sama sekali.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 636; Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]
9. Ja’far ibn Muhammad rahimahullah
“Jauhilah oleh kalian pertengkaran dalam agama, karena ia menyibukkan (mengacaukan) hati dan mewariskan kemunafikan.”
[Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]
10. Mu’awwiyah ibn Qurrah rahimahullah
“Dulu dikatakan: pertikaian dalam agama itu melebur amal.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 562]
11. al Auza’i rahimahullah
“Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum maka
Allah menetapkan jidal pada diri mereka dan menghalangi mereka dari
amal.”
[Siyar al-A’lam 16/104; Tadzkiratul Huffazh: 3/924; Tarikh Dimsyq: 35/202]
12. Imran al-Qashir rahimahullah
“Jauhi oleh kalian perdebatan dan permusuhan, jauhi oleh
kalian orang-orang yang mengatakan: Bagaimana menurutmu, bagaimana
pendapatmu.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 639]
13. Muhammad ibn Ali ibn Husain rahimahullah
“Pertikaian itu menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan di hati orang-orang.”
[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
14. Abdullah ibn Hasan ibn Husain rahimahullah
Dikatakan kepada Abdullah ibn al Hasan ibn al Husain rahimahullah,
“Apa pendapatmu tentang perdebatan (mira’)?”
Dia menjawab:
“Merusak persahabatan yang lama dan mengurai ikatan yang
kuat. Minimal ia akan menjadi sarana untuk menang-menangan itu adalah
sebab pemutus talit silaturrahim yang paling kuat.”
[Tarikh Dimasyq: 27-380]
15. Bilal ibn Sa’d rahimahullah (kedudukannya di Syam sama dengan Hasan Bashri di Bashrah)
“Jika kamu melihat seseorang terus-terusan menentang dan mendebat maka sempurnalah kerugiannya.”
[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
16. Wahab ibnu Munabbih rahimahullah
“Tinggalkanlah jidal dari perkaramu, karena ia tidak akan
dapat mengalahkan salah satu dari dua orang: seseorang yang lebih alim
darimu, bagaimana engkau memusuhi dan mendebat orang yang lebih alim
darimu? Dan seseorang yang engkau lebih alim daripadanya, bagaimana
engkau memusuhi orang yang engkau lebih alim daripadanya dan ia tidak
mentaatimu? Maka tinggalkanlah itu.”
[Tahdzibul Kamal: 31/148; Siyarul A’lam: 4/549; Tarikh Dimasyq: 63/388]
17. Malik ibnu Anas rahimahullah
Ma’n rahimahullah berkata:
“Pada suatu hari Imam Malik ibn Anas berangkat ke masjid
sambil berpegangan pada tangan saya, lalu beliau dikejar oleh seseorang
yang dipanggil dengan Abu al-Juwairah yang dituduh memiliki Aqidah
Murji’ah.”
Dia berkata:
‘Wahai Abu Abdillah dengarkanlah dariku sesuatu yang
ingin saya kabarkan kepada anda, saya ingin mendebat anda dan memberi
tahu anda tentang pendapatku.’
Imam Malik berkata,
‘Hati-hati, jangan sampai aku bersaksi atasmu.’
Dia berkata,
‘Demi Allah, saya tidak menginginkan kecuali kebenaran. Dengarlah, jika memang benar maka ucapkan.’
Imam Malik bertanya,
‘Jika engkau mengalahkan aku?’
Dia menjawab,
‘Maka ikutlah aku!’
Imam Malik bertanya lagi,
‘Kalau aku mengalahkanmu?’
Dia menjawab,
‘Aku mengikutimu?’
Imam Malik bertanya,
‘Jika datang orang ketiga lalu kita ajak bicara dan kita dikalahkannya?’
Dia berkata,
‘Ya kita ikuti dia.’
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus
Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah
(agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa
menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan
banyak berpindah-pindah”.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang
memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia
menjawab,
”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.”
(Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
18. Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.”
[Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
19. Ahmad bin Hambal rahimahullah
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang,
“Saya ada di sebuah majelis lalu disebutlah didalamnya sunnah yang tidak diketahui kecuali oleh saya, apakah saya mengatakan?”
Dia menjawab:
“Beritakanlah sunnah itu, dan janganlah mendebat karenanya!”
Orang itu mengulangi pertanyaannya, maka Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Aku tidak melihatmu kecuali seorang yang mendebat.”
[al-Adab as-Syar’iyyah: 1/358, dalam bab menyebar sunnah dengan
ucapan dan perbuatan tanpa perdebatan dan kekerasan; al-Bashirah
fid-Da’wah Ilallah: 57]
20. Shafwan ibn Muhammad al-Mazini rahimahullah
Saat Shafwan rahimahullah melihat para pemuda berdebat di Masjid Jami’ maka ia mengibaskan tangannya sambil berkata:
“Kalian adalah jarab, kalian adalah jarab.” [Ibnu Battah: 597]
Dahulu dikatakan:
“Janganlah engkau mendebat orang yang santun dan orang
yang bodoh; orang yang santun mengalahkanmu, sedang orang yang bodoh
menyakitimu.”
[Al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
“Ya Allah jauhkanlah kami dari jidal, dan anugerahkan pada kami
istiqomah. Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah engkau memberi
hidayah pada kami.”
Aamiin.
Wasiat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Ali al-Yamani al-Wushobi al-Abdali
Wahai Penuntut ilmu, jika kamu membuka pintu debat bersama temanmu
maka sungguh kamu telah membuka pintu penyakit fitnah buat dirimu.
Apabila seseorang penuntut ilmu tidak menjauhkan diri darinya tentu akan
mendapatkan marabahaya.
Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
ما ضل قوم بعد هدى كا نوا عليه إلاأوتواالجدال : ثم قرأ :
ماضربوه لك إلاجد لا بل هم قوم خصمون – رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي –
ِArtinya : “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan
petunjuk kecuali Allah berikan kepada mereka ilmu debat. Kemudian beliau
membaca : mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan
dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar.”
(HR Tirmidzi dari Abu Umamah al Bahily)
Saya masih teringat seorang teman ketika awal belajar di Madinah,
mungkin kurang lebih dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang
silam, dia terkenal banyak berdebat. Terkadang dia mulai berdebat dari
setelah Isya’ sampai akhir malam. Ternyata pada akhirnya dia mendapatkan
kegagalan, tidak menjaga waktu, tidak beristighfar, bertasbih,
bertahlil, bangun malam, dan tidak melaksanakan bimbingan Rasulullah
shållallåhu ‘alayhi wa sallam.
Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bukanlah pendebat. Tatkala
Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam pergi kerumah Fatimah dan Ali
ketika beliau ingin membangunkan keduanya untuk sholat malam, beliau
mengetuk pintu dan berkata :
”Tidaklah kalian bangun untuk melaksanakan sholat?”
‘Ali mengatakan :
”Sesungguhnya jiwa kami di Tangan Allah, Dia membangunkan sesuai kehendak-Nya.”
Beliau Sholallahu Alaihi Wa Sallam balik sambil memukul pahanya dan berkata :
وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا
” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”
(QS Al Kahfi :54 )
Rasulullah tidak mendebat Ali dan beliau menganggap bahwa apa yang
dijawab Ali termasuk dari jidal (debat) dengan berdalilkan firman Allah :
وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا
” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”
(QS Al Kahfi :54 )
Wahai penuntut ilmu jauhilah dari perdebatan, karena hal yang
demikian itu menyebabkan kemurkaan dan kebencian di dalam hati. Katakan
kepada temanmu apa yang kamu ketahui, kalau temanmu mengatakan tidak,
kembalikanlah permasalahannya kepada Syaikhmu, dan sekali lagi
menjauhlah kamu dari perdebatan, Rasulullah bersabda :
إذااختلفتم قي القران فقوموا – متفق عليه
“Apabila kalian berselisih di dalam Al Qur’an maka tinggalkan tempat tempat itu.”
(Muttafaqun Alaihi)
Apabila terjadi disuatu majelis perdebatan, satu menyatakan demikian
yang lain menyatakan demikian, maka dengarkan sabda Rasulullah diatas
dan janganlah kalian duduk ditempat itu dan jangan mencoba untuk membuka
perdebatan. Berhati-hatilah kamu dari debat dan peliharalah waktumu,
insya Allah kamu akan saling mencintai dan saling menyayangi.
[Disalin oleh
Abu Aufa
dari buku عشرون النصيحة الطالب العلم و الد ا عي إلى الله yang sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul ” 20 Mutiara Indah
bagi penuntut Ilmu dan Da’i Ilallah“]
Maksud perkataan ‘ulama diatas
Syaikhul Islam berkata,
“Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh
- orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain)
- atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti;
- berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran,
- serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.
Beliau melanjutkan,
“Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum
pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada
kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka
hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.
Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela;
terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat
(kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan
sesuatu yang bathil.”
Wallåhu ta’ala a’lamu bish shåwwab..