Kiai Saifuddin Zuhri bahkan sempat menyampaikan bahwa para Laskar
itu tidak harus mati syahid, justru harus hidup untuk mengobarkan
perjuangan dan mengisi kemerdekaan. Setelah Resolusi Jihad
dikumandangkan, para Laskar memang bergerak ke Surabaya. Dari Jombang
ada Laskar Hizbullah pimpinan Kiai Jusuf Hasyim, putra Hadratussyaikh
Hasyim Asyari. Kiai Jusuf Hasyim turun ke medan perang sekaligus
menjadikan Pondok Pesantren Tebu Ireng sebagai markas Laskar Hizbullah.
Pondok
Pesantren Tebu Ireng sendiri sudah berkali-kali diserang Belanda.
Hingga Belanda merasa perlu membuat markas pasukan yang tidak jauh dari
Pondok Pesantren Tebu Ireng. Mbah Hasyim Asyari wafat pada 25 Juli 1947
dalam keadaan sedih setelah menerimam informasi daerah Singosari Malang
jatuh ke tangan Belanda.
Dari Pasuruan datang Laskar Hizbullah
Kompi II Divisi Timur yang dipimpin Kiai Sa'dullah dari Pondok Pesantren
Sidogiri. Kiai Sa’dullah bersama 250 pasukannya bertempur di area
Wonokasian Sidoarjo.
Mengetahui Sidogiri dijadikan markas
Hizbullah, pada 26 September 1947 Belanda menyerbu Pondok Pesantren.
Kiai Djalil, pengasuh saat itu bersama para santri yang mendampinginya
mati syahid. Kiai Sa'dullah selamat dan bergabung dengan Hizbullah
Malang.
Dari Situbondo muncul Kiai Asad, putra Kiai Syamsul
Arifin dari Pondok Pesantren Sukorejo. Kiai Asad yang bergabung dalam
Laskar Hizbullah Kompi II Div.Timur saat pertempuran di Surabaya pada
tanggal 1-23 November 1945, juga mengendalikan para Laskar yang ada di
Karesidenan Besuki.
Kiai Asad sering membuat geger Belanda di
daerah Bondowoso dan Jember. Pondok Pesantren Sukorejo pun digeledah
Belanda, Kiai Syamsul Arifin dan ratusan santri disiksa. Namun mereka
selalu gagal menemukan Kiai Asad.
Dari Kediri muncul Laskar
Hizbullah yang dikomandoi KH Mahrus Aly, Pengasuh Pondok Pesantren
Lirboyo. Mayor Mahfud yang menjelaskan situasi genting Surabaya kepada
Kiai Mahrus. “Kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah
penghabisan.” Kata Kiai Mahrus. Maka dipilihlah 97 santri tangguh.
Bersenjatakan bambu runcing, rombongan Kiai Mahrus naik truk menuju
Surabaya.
Dari Jember muncul Laskar Hizbullah pimpinan KH Abdullah Shiddiq
yang juga membentuk Laskar Sabilillah. Kiai Abdullah Shiddiq tentu tidak
sendiri. Ada beberapa kiai lokal yang menopangnya, seperti Kiai Jauhari
Kencong, Kiai Anas, Kiai Faqih (Lumajang) yang bersama Laskar Hizbullah
membendung Belanda di daerah Cakru (Jember-Lumajang Selatan).
Dari
Mojokerto ada Hizbullah pimpinan KH Moenasir Ali yang sempat berkarir
di militer namun mengundurkn diri. Dari Malang ada Kiai Mukti Harun yang
cukup ditakuti tentara Belanda dan Jepang. Kiai Harun menjadi rujukan
para pejuang kemerdekaan. Kiai Mukti juga membekali Bung Tomo dengan
wirid, air minum, serta bambu runcing. Di tempat Kiai Mukti Harun saat
ini terdapat monumen Hizbullah.
Dari barat Surabaya juga datang
Kiai Bisri Mustofa, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
Rembang. Kediaman Kiai Bisri juga tempat berkumpulnya para kiai yang
akan berangkat ke Surabaya. Kiai Abbas Buntet Cirebon misalnya, terlebih
dulu singgah di Rembang menemui Kiai Bisri untuk kemudian bersama-sama
berangkat ke Surabaya. Kiai Amin Babakan Cirebon juga datang ke Surabaya
meski harus menjual 100 gram emas untuk biaya perang. Di luar yang saya
sebutkan di atas tentu masih banyak para kiai-santri yang ikut
bertempur di Surabaya.
Keseriusan para kiai yang tergabung dalam
Nahdlatul Ulama dalam pertempuran di Surabaya pada Oktober-Nopember 1945
menjadikan peristiwa tersebut luar biasa. Tentara sekutu dengan
peralatan modern dihadapi para kiai bersama arek-arek Suroboyo dengan
peralatan ala kadarnya, seperti senjata rampasan dari Jepang yang sangat
terbatas, bambu runcing dan benda-benda aneh lainnya.
Agus
Sunyoto, seorang sejarahwan NU mengatakan, para kiai memilih bambu
runcing itu mengandung makna agung. Bambung runcing dari depan tampak
lubang yang lonjong. Itu adalah simbol ibu. Jadi pejuang yang menenteng
bambu runcing selalu diikuti doa ibu.
Di luar simbol fisik seperti
bambu runcing, para kiai mempunyai senjata di luar nalar manusia.
Senjata itu adalah kekuatan yang langsung dari Allah Swt melalui
benda-benda biasa saja, bukan senjata. Kiai Abbas Cirebon misalnya,
bertempur di Surabaya hanya bermodalkan bakiak, butiran tasbih, dan doa
khusus pada kolam penuh air yang dipakai wudhu pasukan Hizbullah. Bahkan
pada 1994, saat Muktamar NU Cipasung, butiran tasbih itu masih tersisa
dan diserahkan kepada Gus Dur untuk bekal menghadapi intervensi Penguasa
Orde Baru.
Kiai Sa'dullah dari Pondok Pesantren Sidogiri
membekali Laskar Hizbullah Pasuruan dengan berbagai ilmu, di antaranya
"Lembu Sekilan". Kiai Syamsul Arifin dari Pondok Pesantren Sukorejo
Situbondo lain lagi. Kiai Syamsul menyiapkan minyak “kidang kencana”
bagi Laskar Hizbullah. Walhasil, Pertempuran di Surabaya waktu itu
memang sejak awal dirancang berlangsung “tidak biasa” mengingat
rasionalitas telah membentur batu karang: diplomasi selalu kalah,
perjanjian Renville dan Linggarjati merugikan, situasi politik nasional
tidak stabil, carut marut ekonomi nasional, sedangkan di sisi lain
kemerdekaan terancam.
Memasuki 1946 hingga 1949, tidak sedikit para kiai ditangkap
Belanda, atau memilih perang gerilya dan bersembunyi, pondok pesantren
diserbu, para santri disiksa. Kiai Asad misalnya, pasca pertempuran di
Surabaya hampir empat tahun bersembunyi berpindah-pindah tempat
menghindari kejaran Belanda. Kiai Jauhari Zawawi Kencong juga harus
bersembunyi cukup lama di hutan-hutan. Begitu juga Kiai Sa’dullah
Sidogiri yang menuju Malang meski Pondok Pesantrennya diserbu Belanda.
Kini
Indonesia merdeka. Para kiai pun lega. Nahdlatul Ulama juga telah
kembali ke fungsi sosial agamanya. Berbagai macam ilmu kesaktian itu pun
kembali tersembunyi di bilik-bilik pondok pesantren. Ilmu itu sampai
kini masih dipelajari para santri meski dengan bungkus yang berbeda.
Ilmu
itu sekarang hanya menjelma jadi wirid yang rutin dibaca santri, kadang
habis salat fardhu, terkadang juga jadi wirid di malam hari. Santri itu
pun kini belajar normal mengkaji kitab-kitab klasik di bidang fiqh,
tasawuf dan tauhid.
Laskar-laskar itu bukan sedang tidur. Mereka
masih terjaga dan sewaktu-waktu bisa saja keluar jika para kiai
memanggilnya. Saya teringat statemen KH Mustofa Bisri dalam satu acara
di Semarang tahun lalu saat membicarakan maraknya aksi kekerasan yang
cenderung radikal di Indonesia.
“Kalau Nahdlatul Ulama mau, bisa
saja dalam waktu singkat memusnahkan kelompok-kelompok keras itu. Tapi
NU tidak mau melakukan karena itu tugas Pemerintah.” Pada kesempatan
lain saat memperingati 1000 hari Kewafatan Gus Dur di Ciganjur, KH
Mustofa Bisri berkata sambil menoleh kepada Pak Akbar Tandjung, “Kalau
NU mau bisa saja bertindak keras mempertahankan Gus Dur Pak Akbar. Tapi
Gus Dur gak mau, NU gak mau,” kata Gus Mus mengingatkan.
Jadi, para laskar itu masih terjaga dan belum diperlukan kiai untuk keluar dari sarangnya. Al-fatihah.
Salam: @gottencweet
Sumber: http://surabaya.tribunnews.com
 |
| Penulis: M. SULTON FATONI |