Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru
pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang
disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi
instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan
pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat
homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?
Peluang
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU
tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang
berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren
telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).
Dengan
demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang
genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”.
Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari
arus utama kebijakan selama ini tidak sah lagi diteruskan. Dukungan
kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantren pun
diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.
Pada saat sama, dengan
persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan
mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan
umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah
sosial-politik-kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang
hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum
atau memiliki ijazah ”pendidikan formal”.
Konsekuensinya, kedua
institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi
teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus
dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan
pengakuan tersebut.
Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila
dibandingkan dengan ”fasilitas” yang akan diperoleh? Jawaban atas
pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan
yang termaktub dalam PP 55/2007.
Dilema
Terlepas dari berbagai ”janji sorga” yang disampaikan pemerintah,
peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan
mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka
panjang.
Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai
kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding
pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan
kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-”make up”
dengan istilah ”bantuan” dalam program bantuan operasional sekolah (BOS)
adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual adalah
implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang karut marut
belakangan ini.
Kedua, terkait kecenderungan di atas, perlu juga
diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi
pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan
akreditasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas
pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan
sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan
dari Menteri Agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada SNP
(Pasal 19).
Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam ketentuan
ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005,
maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).
Artinya,
untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga
sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan
mutu. Dalam sebuah diskusi, penulis secara berkelakar menyampaikan bahwa
jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru,
maka Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga
sertifikasi kiai.
Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan
diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah
dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah
(Pasal 18).
Dibandingkan dengan draf awal rancangan PP ini yang
disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya,
ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata
pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa
jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan
implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP,
pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan kepada
Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib
diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah
(ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki
muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.
Di atas itu semua, berbagai
prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan
menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran
birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren
–dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya-- akan tereduksi sebagai
lembaga pendidikan semata.
Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran
pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai
lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga
pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya
(Dian Nafi’ et al, 2007).
Keenam peran tersebut pada umumnya
dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga
pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut. Karena
itu, jika energi pesantren tersita untuk pemenuhan hal-hal yang bersifat
administratif-birokratis, bukan tidak mungkin peran-peran lainnya akan
tereduksi secara alamiah. Wallahu a’lam.
*Nur Hidayat.
Pemerhati kebijakan pendidikan, peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP)