AGAMA MONOTHEIS DAN SAMAWI
YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM
Ibrahim yang Hanif
Penting rasanya mengetahui siapa tokoh Ibrahim sebenarnya. Sebab tidak
dipngkiri lahi, Ibrahim adalah nenek moyang tiga agama monotheis dan samawi,
yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Ibrahim berasal dari Babylonia dan hidup sekitar tahun 1700 SM. Seorang anak
pemahat patung bernama Azar yang memilki pemikiran tajam dan kritis sejak dia
bocah, tentu saja ini adalah hidayah Ilahi. Masih ingat kisah pembakaran
dirinya karena memberontak terhadap ayahnya yang menyembah patung yang dipahat
dari batu. Setelah diselamatkan oleh Tuhan Ynag Maha Esa itulah, Ibrahim lari
ke Kana’an, Palestina Selatan.
Di Kana’an inilah Ibrahim memperistri Sarah. Karena wabah paceklik di
Kana’an mereka pindah ke Mesir untuk sementara. Di Mesir inilah Ibrahim
menerima hadiah dari Firaun karena suatu peristiwa yang mengesankan sang raja.
Hadiah tersebut berupa budak perempuan yang cantik, Hajar. Kemudian ketiganya
kembali ke Kana’an. Kini usia Ibrahim semakin lanjut, dan dia sangat
mengharapkan seorang keturunan. Setelah berdoa, memohon kepada Tuhan, akhirnya
Sarah berbaik hati mengizinkan Ibrahim mengawini Hajar. Dari hajar inilah lahir
seorang putra yang diberinya nama Ishmael (Ismail) yang dalam bahasa Ibrani
berarti “Tuhan telah mendengar,” yaitu doa sang ayah yang memohon keturunan.
Ibrahim sangat mencintai Ismail dan ibunya. Hal ini menyebabkan rasa kurang
senang pada diri Sarah. Maka Sarah meminta Ibrahim untuk membawa Ismail dan
ibunya keluar dari rumah tangga mereka. Dengan petunjuk Tuhan dan bimbingan
para malaikat, Ismail dan Hajar dibawa kearah selatan Kana’an. Sampai pada
suatu lembah yang tandus dan gersang, tiada tumbuhan (QS Ibrahim:37). Masih
dengan petunjuk Tuhannya, Ibrahim kembali ke Kana’an dengan sesekali menjenguk
Ismail.
Inilah rencana Tuhan Yang Maha Bijaksana. Di lembah tempat Ibrahim membawa
anaknya itulah terletak rumah suci (
bayt) yang pertama kali didirikan
untuk umat manusia (QS Al-Imran:96). Lembah inilah yang dinamakan Bakkah atau
Makkah. Awalnya rumah suci tersebut belum ada. Baru setelah Ismail dewasa,
Tuhan memerintahkan mereka berdua mendirikan
bayt tersebut (QS
al-baqarah:127). Inilah salah satu realisasi rencana bimbinganNya untuk umat
manusia.
Karena bentuknya yang persegi empat, maka bangunan tersebut disebut Ka’bah
yang berarti “kubik.” Maka bangunan tersebut memang Rumah Suci (al-Bayt
al-Haram), sebagai pusat peribadahan dan urusan dunia bagi manusia (QS
al-Maidah:97).
Awalnya, pada masanya, Rasulullah berkiblat ke al-Masjid al-Aqsha yang
didirikan Nabi Sulaiman, sekitar delapan abad setelah Nabi Ibrahim (kisah
al-Aqsha akan diulas pada bagian lain). Ada makna mendalam atas perpindahan
kiblat dari Yerusalem ke Makkah. Yaitu bahwa Nabi Muhammad mengajarkan dan
mengajak manusai untuk kembali ke agama Nabi Ibrahim yang otentik dan asli, yang
dilambangkan oleh Ka’bah, peninggalan yang utama.
Agama Nnabi Ibrahim itulah yang disebut agama hanafiyah atau ke-hanif-an,
dan Nabi Ibrahim adlah seorang yang hanif, yang berarti bersemangat kebenaran
dan muslim, bersemangat pasrah dan taat kepada Allah Tuhan Sekalian Alam.
Pernah Rasulullah terlibat polemic dengan para penganut Yahudi (agama yang
mucul lewat kerasulan Nabi Musa) dan penganut agama Nasrani. Namun Allah
menegaskan:
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau seorang Nasrani,
melainkan seorang hanif dan Muslim,” (QS al-Imran:67).Nabi Muhammad dan
para pengikutnya pun diperintahkan untuk mengikuti agama Ibrahim yang hanif (QS
an-Nahl:123 dan QS al-An’am:161).
Ibrahim dan Keturunannya
Sebelumnya kita telah membahas perihal Ibrahim yang membawa Ismail dan
ibunya ke Makkah. Disanalah Ismail dibesarkan yang kemudian memperistri seorang
Arab dari suku Jurhum. Dari sinilah bangsa Arab Quraish berasal, penduduk
Makkah dan suku Arab yang paling terkemuka.
Dari sini pulalah kelak muncul Nabi Muhammad saw, Rasul Allah yang membawa
Islam. Pada akhirnya terjadilah “Ledakan Bangsa Arab”
(Arab Exploison),
dimana bangsa Arab dengan bendera Islam berhasil menaklukkan daerah jantung
(heart
land) dunia, terbentang dari sisi barat Lautan Atalntik sampai Tembok Cina
di timur.
Kembali ke Ibrahim. Sementara Ismail dan Hajar tinggal di Makkah dan
sesekali ayahnya menjenguk melaksanakan perintah Tuhan, Ibrahim sendiri tinggal
di Kana’an bersama Sarah. Dengan izin dan kekuasaan Tuhan, mereka pun
dikaruniai seorang putra yang juga menjadi Nabi dan Rasul Allah, Ishaq.
Atas karunia Tuhan, Ishaq pun diberi putra yang dari keturunannya akan
tampil banyak Nabi dan Rasul Allah. Putra tersebut adalah Ya’qub yang digelari
Isra’il yang dlam bahasa Ibrani berarti “Hamba Allah,” sama dengan arti
Abdullah dalam bahasa Arab. Anak keturunan Nabi Ya’qub atau Israil ini terus
berkembang biak dan menjadi nenek moyang bangsa Yahudi, yang disebut pula Bani
Israil (Anak turun Israil).
Lahirnya Bangsa Yahudi
Ya’qub memiliki duabelas anak dari dua istri. Istri keduanya memberinya dua
orang putra. Yusuf dan Benyamin. Ya’qub sangat mencintai Yusuf dibanding
anak-anak lainnya karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki Yusuf. Hal ini
menimbulkan rasa tidak suka dari saudara-saudara lainnya. Akhirnya mereka
bersiasat untuk menyingkirkan Yusuf. Berkat lindunganNya, Yusuf selamat bahkan
menjadi mentri urusan bahan pangan di Mesir kala itu. Yusuf inilah yang secara
tidak langsung membawa keluarganya ke Mesir (QS Yusuf:4-102).
Di Mesir inilah kelak keturunan Ya’qub atau Israil berkembang biak melalui
anak-anak yang berjumlah duabelas tersebut. Maka Bani Israil atau Yahudi
terbagi menjadi duabelas suku (QS al-A’raf:160).
Sebagian besar keturunan dari Ya’qub menganut agama tauhid atau monotheisme.
Hal ini membuat Fir’aun yang zhalim merasa kurang senang sebab di Mesir sendiri
adalah Politheis atau musyrik. Meskipun banyak dari Bani Israil ini yang
menyeleweng dari agama moyangnya, Nabi Ibrahim. Namun mereka masih memilki
potensi kebenaran dan keadilan lebih besar dari pada bangsa Mesir di bawah
Firaun. Karena itu mereka selalu menunjukkan gelagat menentang pada Firaun.
Sejak saat itulah anak cucu Ya’qub tersebut yakni bangsa Yahudi mengalami
penindasan dari Fir’aun.
Kisah Musa dan Firaun
Pada saat-saat seperti inilah diturunkan Musa yang mengemban misi
membebaskan Bani Israil dari penindasan Firaun sekaligus membawanya ke tanah
yang dijanjikan, yaitu Kana’an atau Palestina Selatan. Nabi Musa sebenarnya
adalah seorang yahudi yang ironisnya dibesarkan di kalangan Istana Firaun.
Walau akhirnya ia pun dapat melepaskan diri.
Saat mengalami kesulitan akibat suatu pekelahian, Musa melarikan diri ke
timur, menyebrangi gurun Sinai sampai tiba di Kota Madyan, di tepi pantai Teluk
Aqabah, Arabia Barat Laut. Disinilah berdiam utusan Allah untuk penduduk
Madyan, Syu’ayb (QS Hud:84).
Musa pun menuturkan persoalannya kepada Syu’ayb. Nabi Syu’ayb mengerti akan
perihal Musa dan menawarkan perlindungan padanya. Bahkan Musa dikawinkan dengan
kedua putri Syu’ayb. Sebagai mas kawin, Musa tinggal bersama keluarga tersebut
selama delapan tahun (empat tahun untuk masing-masing istrinya) demi membantu
perekonomian keluarga, antara lain dengan menggembalakan kambing (QS
al-Qashash:27).
Genap delapan tahun, Musa dan kedua istrinya yang kakak beradik pergi menuju
Mesir meninggalkan Syu’ayb yang juga merupakan guru Nabi Musa.dalam perjalanan
itulah Musa kemudian dipilih menjadi Rasul dan ditugaskan untuk menemui Firaun
yang menjalankan tirani. Atas keinginannya sendiri, Musa pun memohon utnuk membawa
serta Harun, saudaranya yang lebih fasih dalam berbicara guna menyampaikan
kebenaran dan keadilan dihadapan Firaun.
Firaun sendiri adalah gelar untuk raja-raja mesir. Dalam bahasa Inggris
berarti
pharao. Firaun yang dihadapi Musa adalah Firaun Ramses II yang
berada pada masa 1304-1237 SM. Selain tiranik, Al-Quran juga menggambarkan
Firaun sebagai orang yang mengaku Tuhan dan menindas rakyat. Karena itulah dia
disebut musyrik. Kisah Musa selanjutnya tidak berbeda dengan sejarah yang biasa
kita dengar.
Kisah Dawud dan Jalut
Perjuangan Musa untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan Firaun dan
membawanya ke tanah yang dijanjikan yaitu kana’an atau Palestina Selatan
belumlah usai. Dawudlah yang meneruskan tugas tersebut.
Kisah yang kita kenal dari Al-Quran terkait Nabi Dawud adalah perjuangannya
melawan Jalut dalam misinya membebaskan Bani Israil. Diceritakan bahwa Dawud
dengan jumlah yang sedikit mampu mengalahkan Jalut dengan jumlah pasukan yang
sangat banyak (QS al-baqarah:251). Cerita ini pun lebih kita kenal dengan nama
Inggrisnya, David melawan Golliath.
Dawud pun menuntaskan misi Nabi Musa. Dia merebut Yersalem dan kelak bangsa
Yahudi akan berada pada masa keemasannya saat berada dibawah pimpinan Nabi
Sulaiman, anak Nabi Dawud.
Kisah Sulaiman
Sulaiman adalah raja dari kerajaan Judea-Samaria yang diwariskan dari
ayahnya, Dawud. Di bawah Sulaiman inilah bangsa Yahudi, Bani Israil, keturunan
Nabi Ya’qub berada pada masa kejayaanya.
Pada masa Sulaiman, Yerusalem dibangun. Di pusat kota didirikanlah sebuah tempat
peribadatan yang megah. Orang Arab menyebutnya Haykal Sulaiman atau Kuil
Sulaiman, dalam bahasa Inggris Solomon Temple.
Temple Mount. Adalah Bukit Kuil dalam bahasa Indonesia di mana yang dimaksud
adalah bukit yang dahulu berdiri Solomon Temple atau Haykal Sulaiman, yaitu
Bukit Moria, juga biasa disebut Bukit Zaitun. Solomon Temple itu tak lain
adalah Masjid al-Aqsha, dalam bentuk aslinya, yang didirikan Sulaiman, putra
Nabi Dawud.
Istilah Temple Mount atau Bukit Kuil sendiri tidak begitu dikenal kaum
Muslim Indonesia. Banyak koran asing mengambil nama itu tanpa tau
implikasinya, bahkan tanpa tahu bagaimana menerjemahkannya, terutama terjemah
maknawiyah yang lebih luas. Istilah Inggris “Temple Mount” tersebut berkonotasi
kuat mengingkari hak Islam dan Kaum Muslim atas tanah suci tersebut, karena
anggapan bahwa dahulu kaum Muslim merampasnya dari kaum Yahudi. Tegasnya,
istilah Temple Mount itu mengandung isyarat bahwa tanah suci harus dikembalikan
kepada “yang berhak,” yaitu kaum Yahudi yang mempunyai rencana besar membangun
kembali Solomon Temple. Ini sesuai dengan Eskatologi mereka bahwa sebelum Hari
Kiamat, Solomon Temple akan berdiri megah kembali, sama keadannya seperti pada
masa Nabi Sulaiman.
Apakah orang Yahudi masih berhak atas tanah suci itu? Secara teologis,
seorang Yahudi barangkali akan menjawab, “pasti berhak!” Sebaliknya, secara
teologis pula seorang Muslim juga akan dengan tegas mengatakan, “Sama sekali
tidak berhak!” Di sinilah keneltralan menjadi hilang. Meski demikian, masih
terdapat dasar tinjauan yang netral dan objektif, yaitu sejarah.
Perjalanan Bangsa Yahudi
Bangsa Yahudi yang tinggal di Kana’an dan Mesir telah melahirkan tidak hanya
seorang nabi, tetapi banyak nabi yang kini nama-nama mereka menghiasi
kitab-kitab suci Taurat, Injil, dan Al-Quran. Tetapi bangsa Yahudi tidak pernah
benar-beanr jaya. Ini disebabkan anak turun Nabi Ya’qub itu terkenal sombong
dan suka memberontak.
Ini membangkitakn murka Allah, dan mereka harus menerima azabNya. Dalam QS
al-Isra:4-8 digambarkan betapa Bani Israil itu membuat kerusakan di bumi dan
berlaku sombong, angkuh,
chauvinis (merasa paling unggul dan benar
sendiri). Allah pun mengazabnya,
“Jika saat pertama dari keduanya itu tiba,
maka Kami utus atas kamu hamba-hamba Kami yang gagah perkasa, kemudian
mereka-mereka menerobos rumah kamu. Dan ini adalah peristiwa yang telah
terjadi” (QS al-Isra:5).
Kapan peristiwa itu terjadi? Yaitu sekitar tujuh abad sebelum Masehi ketika
bangsa Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar datang menyerbu Yerusalem dan menghancurkan
kota itu, termasuk Masjid Aqsha-nya. Kaum Yahudi bahkan diboyong ke Babilonia
untuk dijadikan budak. Inilah masa perbudakan (
captivity), yang
menurut Bertrand Russel merupakan permulaan kaum Yahudi mengidap Messianisme.
Dan sebagai kompensasi, tumbuh keyakinan pada diri mereka bahwa mereka adalah
“Bangsa Pilihan.”
Kaum Yahudi memang kemudian dapat kembali ke Yerusalem atas bantuan Persia
yang telah mengalahkan Babilonia. Mereka pun hanya mampu membangun kembali
Haykal Sulayman sekedarnya saja, sampai datangnya Herod, raja Yahudi keturunan
Arab yang taat pada Roma. Dengan kedudukannya, dia membangun kembali Haykal
Sulayman, lalu dikenal sebagai The Second Temple. Bangunan itu megah sekali,
namun tanpa makna mendalam.
Sekali lagi, bangsa Yahudi ini menjadi congkak dan membuat kerusakan di muka
bumi. Maka Allah pun mengazab mereka untuk kedua kalinya,
“…Dan bila tiba
saat peristiwa yang kedua, (kami biarkan musuh-musuhmu) menhancurkan martabatmu
dan memasuki, an menghancurkan apa saja yang terjamah tangan mereka” (QS
al-Isra:7). Peristiwa kedua ini terjadi sekitar tahun 70 Masehi karena dosa
mereka menolak kerasulan nabi Isa al-Masih dan menyiksa para pengikutnya.
Kaisar Titus dari Roma meratakan Yerusalem dengan tanah dan
mengahancurleburkan Masjid al-Aqsho yang kedua yang telah dibangun. Yang
tersisa adalah sebuah tembok, tempat paling suci kaum Yahudi saat ini. Mereka
beribadat dengan meratap tembok itu mengenang nasib mereka, maka dikenal dengan
“Tembok Ratap” (wailing wall).
Kaisar Titus tidak hanya meluluhlantakan Yerusalem dan Solomon Temple-nya.
Dia juga menindas orang-orang Yahudi, kemudia menghalangi mereka tinggal di
Kana’an (Palestina Selatan) umumnya dan Yerusalem khususnya. Inilah permulaan
masa Diaspora, yaitu masa kaum Yahudi mengembara terlunta-lunta ke seluruh
penjuru bumi, tanpa tanah air. Kitab Suci mengisyaratkan kejadian itu dalam
firman,
“Kehinaan ditimpakan atas mereka di mana pun mereka berada, kecuali
dengan tali dari Allah dan tali dari manusia, dan mereka kembali mendapat murka
dari Allah dan kenistaan ditimpakan atas mereka. Demikian itu karena mereka
dahulu ingkar akan ajaran-ajaran Allahdan membunuh para Nabi tanpa alasan yang
benar. Itulah akibat mereka durhaka dan telah melampaui batas” (QS
Al-Imran:112).
Sedikit demi sedikit kaum Yahudi mengumpulkan lagi kekuatan mereka. Bahkan
pada tahun 132 mereka masih sempat menantang Roma lagi, yang kemudian dengan
sangat kejam ditindas oleh Kaisar Hadrian, melalui Jendral Severus, sehingga
“darah orang-orang Yahudi sampai mengalir seperti sungai dan harga budak di
pasaran merosot karena banjir lelaki dan perempuan Yahudi yang diperbudak dan
diperjual belikan.”
Karena ingin melenyapkan Bangsa Yahudi untuk selama-lamanya, termasuk tanah
suci mereka, maka Yerusalem dibersihkan, kemudian dibangun sebuah kota kecil
yang diberi nama Aelia Capitolina, kurang lebih berarti kota suci untuk Dewi
Aelia, berhalanya Roma. Di atas Bukit Moria sendiri, yang semula tempat berdiri
Haykal Sulayman, berdiri patung Kaisar menghadap patung dewa pelindungnya, Jupiter
Capitolinus. Kemudian di Golgota kaisar Hadrian mendirikan kuil untuk berhala
Venus, sebagai penghalang agama Kristen yang mulai tumbuh di tempay itu, yang
bagi Hadrian tidak lebih daripada sebuah sekte kecil baru agama Yahudi.
Begitulah keadaan Yerusalem selama sekitar tiga abad setelah kehancurannya.
Pada abad keempat Raja Konstantin (Pendiri Konstantinopel, setelah dikuasai
orang-orang Turki Muslim menjadi (Istambul) masuk Kristen, dan menjadikan agama
itu agama kekaisaran Romawi. Maka Yerusalem pun dikuasai kaum Kristen dan
berbagai tempat yang diduga ada kaitannya dengan Isa al-Masih diagungkan dengan
didirikan bangunan-bangunan. Yang termegah sampai sekarang ialah gereja Holy
Sepulcher.
Dokumen Aelia
Nama Aelia tetap bertahan sampai ketika dia jatuh ke tangan kaum Muslim pada
zaman Khalifah Umar. Sewaktu kota itu jatuh ke tangan orang beriman, Yerusalem
adalah kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena pentingnya kota
itu bagi kaum Muslim, patriak Sophronius, penguasa lamanya tidak menyerahkannya
kepada umat Muslim kecuali jika pimpinan tertinggi mereka sendiri, yaitu Umar
bin Khatab datang menerimanya secara pribadi.
Kemudian dibuatlah perjanjian yang memuat jaminan perlindungan bagi agama
dan umat Kristen. Bunyi bagian pertama perjanjian amat bersejarah itu demikian,
“Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar komandan kaum beriman, kepada
penduduk Aelia tentang keamanan: dia memberi mereka keamanan untuk jiwa dan
harta mereka, juga untuk gereja dan salib-salib mereka, untuk sakit dan yang
sehat, dan untuk keseluruhan agamanya. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki
atau dirusak, dan (bangunan) gereja-gereja itu sendiri ataupun sekelilingnya
tidak akan dikurangi, begitu pula salib mereka dan bagian apa pun dari harta
mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang
pun dari mereka akan diganggu. Juga tidak seorang Yahudi pun akan tinggal
bersama mereka di Aelia……” (Muhammad Hamidullah,
Majmu’at al-Watsa’iq
al-Siyasiyyah, Beirut, Dar al-Irsyad, 1969, H 380).
Sementara itu, Islam juga membuka kota tersebut untuk kaum Yahudi. Atas
permintaan Kristen yang tidak ingin bercampur, kaum Yahudi pun ditempatkan
tersendiri menempati kaveling tertentu. Kaum Yahudi hidup bebas di zaman
kekuasaan Islam selama berabad-abad. Mereka menjadi penduduk kosmopolit,
artinya dengan penuh kebebasan berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat
lain untuk berbagai keperluan, terutama berdagang. Dalam pelukan kekuasaan
Islam mereka itu bahagia sekali, lebih-lebih jika dibandingkan dengan
keadaan mereka dibawah kekuasaan Kristen Eropa.
Karena itu, sungguh ironis bahwa sejak 1948 mereka merebut dan menjajah
sewenang-wenang tanah Palestina, yaitu bangsa yang sejak dahulu telah tinggal
di situ. Itulah kezhaliman Yahudi, yaitu kezhaliman kaum yang tidak tau
berterimakasih kepada bangsa Arab yang telah menyelamatkan dan melindungi
mereka yang selama ratusan tahun terus menerus dihalangi dan ditindas, pertama
oleh Romawi yang pagan, kemudian oleh Romawi yang Kristen.
Hukuman Allah tidak akan berubah, yaitu bahwa “yang salah pasti
seleh
(hancur),” maka dengan kezhalimannya itu bangsa Yahudi sebenarnya sedang
menggali kuburnya sendiri. Ini sejalan dengan peringatan tersirat dari Allah
kepada nabi Ibrahim:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya
dengan berbagai perintah, kemudian dipenuhinya dengan sempurna. Lalu Tuhan
bersabda: ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau (Ibrahim) pemimpin umat manusia,’
Ibrahim menyahut: Dan juga dari keturunanku? Tuhan menjawab, Perjanjianku ini
tidak berlaku untuk mereka yang zhalim.” (QS al-Baqarah:124).
*Semoga bisa menambah wawasan dan bermanfaat. Aamiin...