Assalamu'alaikum. Wr. Wb
sahabatku semua yang dirahmati Allah, banyak seakali diantara kita yang membidahkan acara
tahlilan dan
yasinan, mempersalahkan acara tahlilan hari
ke 7, 40, 100 dan 1000. padahal tahlilan dan yasinan adalah tuntunan
para wali songo yang begitu paham alquran dan hadist sehingga menuangkan
amalan-amalan yang baik dalam wadah yang disebut tahlilan,
walisongo
orang yang sangat berjasa besar dalam penyebaran islam di indonesia,
dakwah mereka melalui kultural dan budaya, mendekati dari hati ke hati
sehingga orang berbondong-bondong masuk islam karena keihlasan hatinya
bukan sebuah keterpaksaan.
untuk itu yang masih mengganggap itu sesat dan akan masuk neraka,
alangkah baiknya kita kaji dimana sesatnya…? dalilnya kuat gak?
tafsiranya sesuai gak… sanadnya ada gak? ato sekedar menafsirkan dan
menyomot dalil yang gak jelas.
ingat ulama itu pewaris para nabi,
ilmu para walisanga jauh lebih tinggi daripada ilmu kita mereka semua
hafal alqur’an dan jasa mereka sangat besar , kita pun gak mampu
menyamainya? lantas apakah kita serta merta membidahkan apa yang mereka
ajarkan? sungguh sombongnya kita, jika demikian…
mari kita kaji bersama, mari buka mata dan hati kita,….
jangan cuma asal ikut sana, ikut sini.. tanpa tahu dari mana
asalanya.. sepeti mengikuti gerakan Wahabi yang berkembang di Indonesia
yg berasal dari Arab Saudi. Tujuan mereka ingin mengajarkan
pemurnian Islam versi mereka,
versi mereka lho, bukan mengikuti rosulullah to maghdab 4, sementara
ajaran lain dianggap tidak benar dan harus diperangi. aliran Wahabi
cukup berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup Islam. Sebab aliran ini
banyak menjalakan amalan-amalan yang justru tidak sejalan dengan ajaran
Islam.
perlu diingat saja. AL Hafidh adalah Ahli hadits yg hafal lebih dari
100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan Al Hujjah adalah yg
hafal lebih dari 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya,
sebagaimana Imam Nawawi yg telah melebih derajat Al hujjah sehingga
digelari Hujjatul Islam, demikian pula Hujjatul Islam Imam Ghazali,
demikian pula Hujjatul Islam Imam Ibn Hajar AL Asqalaniy dan banyak
lagi,
dan Imam Ahmad bin Hanbal (hambali) ia hafal 1 juta hadits berikut
sanad dan hukum matannya, dan ia adalah Murid Imam Syafii, dan ia
berkata : “tak kulihat seorangpun lebih menjaga hadits seperti Imam
Syafii.
wahabi itu tak satupun yg sampai jadi ahli hadits.
mereka juga tak punya sanad, berkata para ahli hadits:
“Tiada ilmu tanpa sanad”
kita
ahlussunnah waljamaah tak mau ilmu yg
tak ada sanadnya, kita bicara syariah kita punya sanad, kita bicara
tauhid kita punya sanad, kita bicara hadits kita punya sanad kepada para
ahli hadits, kita punya sanad kepada Imam Bukhari, kita punya sanad
kepada Kutubussittah, kita bicara fiqih madzhab kita punya sanad kepada
Imam Imam Madzhab.
mereka
wahabi itu tak punya sanad, hanya
nukil nukil dari buku, lalu mengaku sebagai ahli hadits, padahal dalam
pendapat para ahli hadits tidak diterima ucapan nukil nukil, mesti ada
sanad periwayatnya, menurut para ahli hadits tak bisa kita shalat lihat
dari buku, tapi mesti : “aku rukuk melihat si fulan seperti ini
ruku’nya, dan aku tahu dia orang terpercaya, aku tahu dia shalih, aku
tahu dia berilmu, aku tahu dia tsiqah, aqil,. baligh, dan rasyiid (bisa
dipercaya untuk diikuti), dan aku tahu bahwa dia itu ruku’nya mengikuti
gurunya, si fulan, yg juga orang mulia, dan gurunya itu rukuk mengikuti
gurunya lagi yaitu…., demikian hingga Rasulullah saw.
dengan cara ini baru ruku kita diterima, kalau tak punya riwayat maka
dhoif, omongannya tak didengar, fatwanya tertolak, dan ucapannya tak
bisa dijadikan rujukan fatwa,
inilah keadaan kita ahlussunnah waljamaah, kita lihat guru kita,
bukan nukil dari buku, demikian dalam pelbagai ibadah kita punya guru,
berbeda dengan mereka, tak punya guru, hanya nukil nukil dari buku lalu
berfatwa,
lalu yg lucu, mereka mengaku merekalah madzhab ahlul hadits ,ini
seperti orang yg membuka kursus meenjahit padahal ia sendiri tak tahu
menjahit itu apa.
maka berhati-hatilah kawan atas dampak ajaran wahabi yangt berada
diindonesia.. yang selalu membidahkan segala aspek maslah… mari kita
kaji dulu bersama
sebuah kisah menarik bacalah dengan seksama.
Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup
disegani dan memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup
banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas
dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren yang pernah
ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra yang ia
gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang
Pencipta.
Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid- ia ‘titipkan’
pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri
ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini dikelola dengan manajemen
yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang ‘alim’
lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam
dilahirkan.
Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.
Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan
dilakukan dengan tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan
nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat acara pemakaman
yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena semua acara
yang dilaksanakan dianggapnya bid’ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.
Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, –sebut saja
Kyai Umar– memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika
jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan
bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai Fulan akan diadakan
acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang
semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi
bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: “Tidak
ada tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid’ah dan doa orang
yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai,
wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Sekian terima kasih!”. Lalu ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget. Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. “Benar saudara-saudaraku sekalian,
wa an laysa lil insani illa ma sa’a.
Karena Gus Zaid sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan
seterusnya tahlil tidak diadakan. Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai
Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa tidak terampuni, semoga
dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan ke dalam
Surga!”.
Para pelayat serentak meneriakkan, “Amiiiiin!”.
Gus Zaid: “?????”. “Kok mendoakan begitu untuk bapakku”.
Kyai Umar dengan enteng menjawab: “Kan Allah berfirman,
wa an laysa lil insani illa ma sa’a?”.
Gus Zaid: Ya sudah nanti malam tahlilan…..!
NB; maaf, jika orang yang tak paham pasti akan mengklaim kiayi kok
mendoakan jelek, bukan itu maksud yg ingin saya sampaikan dan tekankan,
disini saya akan menekankan, jika seandenya mendoakan yang baik-baikpun
percuma, kan mereka menganggap do’a kita gak sampai( do’a samapai seribu
kalipun gak akan sampai tho, kan mereka menyakini itu), itulah karena k
edangkalan pemahaman syariah mereka, ayo do ngaji maleh,..
.ngaji maleh,…
Sampainya Do’a Kepada Orang Yg Sudah Meninggal
Fadhilatusy Syaikh asy-Sya’raawi dalam himpunan fatwanya “al-Fatawa” mukasurat 201-202 menyatakan seperti berikut:-
-
Telah disebut oleh asy-Syaikh al-’Adawi rhm. dalam “Masyaariqul Anwaar“
bahawasanya:- “Telah sepakat atas sampainya (pahala) sedekah kepada si
mati. Tidak ada bezanya sama ada sedekah tersebut dilakukan jauh dari
kubur si mati atau dekat. Dan demikian jugalah pada doa dan istighfar.”
Dan telah berkata al-Imam al-Qurthubi bahawa telah ijma` sekalian ulama
atas sampainya (pahala) sedekah kepada orang-orang mati, dan demikian
pula perkataannya pada bacaan al-Quran, doa dan istighfar yang
dikuatkannya dengan hadis: ” Dan setiap ma’ruf itu adalah sedekah“. Demikian lagi dikuatkannya dengan hadis Junjungan s.a.w.: ” Orang
mati itu di dalam kuburnya seperti orang lemas yang meminta-minta
pertolongan. Dia menunggu doa berhubungan dengannya daripada saudaranya
atau sahabatnya, maka mendapat doa tersebut adalah lebih baik baginya
dari dunia seisinya.” Dan juga dalil atas sampainya pahala tadi ialah hadis Junjungan s.a.w.: “Sesiapa
yang melalui perkuburan lalu membaca Suratul Ikhlash 11 kali, kemudian
dihadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati, dikurniakan pahala
baginya sebanyak bilangan orang-orang mati tersebut.”
Adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:- “Apabila kamu memasuki kawasan
perkuburan, maka kamu bacalah al-Fatihah dan al-Mu`awwidzatain dan
Suratul Ikhlash dan kamu jadikanlah pahala yang sedemikian itu buat ahli
kubur tersebut, maka bahawasanya pahala tersebut sampai kepada mereka.”
Tok Syaikh Daud al-Fathani pula dalam “Bughyatuth Thullab” juzuk 2 mukasurat 33 menulis:-
-
(Faedah) Telah datang daripada salaf bahawasanya barangsiapa membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sebelas
kali dan dihadiahkan pahalanya bagi ahli kubur , diampun Allah ta`ala
dosanya dengan sebilang-bilang orang yang mati di dalam kubur itu dan
riwayat yang lain diberi akan dia pahala sebilang orang yang mati
padanya.
Sa’ad Azzanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA dengan hadits marfu’:
BARANG SIAPA MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN MEMBACA
FATIHAH,QUL HUWALLOHU AHAD,ALHA KUM ATTAKATSUR KEMUDIAN DIA BERKATA: YA
ALLAH AKU MENJADIKAN PAHALA BACAAN KALAMMU INI UNTUK AHLI KUBUR DARI
ORANG-ORANG MU’MIN,MAKA AHLI KUBUR ITU AKAN MENJADI PENOLONGNYA NANTI DI
HADAPAN ALLAH SWT.
Abdul Azizi Shahib Al-kholllal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dalam hadits marfu’:
NABI SAW BERSABDA:
BARANGSIAPA YANG MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN DIA
MEMBACA YASIN, MAKA ALLAH AKAN MERINGANKAN SIKSAAN MEREKA,DAN DIA AKAN
MENDAPATKAN PAHALA AHLI KUBUR TERSEBUT
kawanku semua yang baik yang dirahmati Allah,..
ada orang yang bertanya kepada habieb lutfi pekalongan. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah.
Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran
Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya,
tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah
hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw.
Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam
sebuah kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon penjelasan, apa batasan
bid’ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara
bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jabir Ibnu Hayyan
jawaban habieb.
Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur’an. Orang yang mempelajari Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur’an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di
zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula,
kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman
tabi’in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat
Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.
Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan
generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan
berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur’an siap
menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi
penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.
Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan
sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok
sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada.
Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan
kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah
ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?
Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang
zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini
sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan,
diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha Illallah
itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah
berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan
barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari
siksa-Ku.” Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?
Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa
tarekat itu sesuatu yang bid’ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu
perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut
dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada
pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan
kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui,
termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid’ah.
Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama?
Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri
yang mengerti bid’ah?
Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab
sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang
mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman)
dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu,
batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang
wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal
dan haram. Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah
dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan.
Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus,
termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada
banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran
sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya
namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.
kawanku semua yang baik
Imam Syafi’i rahimahullah,seorang ‘ulama besar pendiri madzhab syaafi’iyyah,mendefinisikan, bid’ah sbb,
ما أحدث يخالف كتابا أو سنة اأو أثرا أو اجماعا, فهذه البدعة الضلالة. وما
أحدث من الخير, لا خلاف فيه لواحد من هذه الأصول, فهذه محدثة غير مذمومة.
“ Bid’ah adalah apa-apa yang diadakan yang menyelisihi kitab Allah dan
sunah-NYA, atsar, atau ijma’ maka inilah bid’ah yang sesat. Adapun
perkara baik yang diadakan, yang tidak menyelisihi salah satu pun
prinsip-prinsip ini maka tidaklah termasuk perkara baru yang tercela.”
Imam Ibnu Rojab rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul “ Jami’ul Ulum wal Hikam “ mengatakan bahwa bid’ah adalah,
ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له
أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
،
Bid’ah adalah apa saja yang dibuat tanpa landasan syari’at. Jika
punya landasan hukum dalam syari’at, maka bukan bid’ah secara syari’at,
walaupun termasuk bid’ah dalam tinjauan bahasa.”
Tahlil telah menjadi perdebatan yang sampai sekarang belum belum
menacpai kesepakatan. Tanpa ikut berpolemik, sedikit kami urai
permasalahan tahlil dan
tawassul yang menurut sebagian orang dianggap
bid’ah dan syirik.
Arti tahlil secara lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah
(لااله الا الله).
Namun
kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan
beberapa dzikir, alqur’an dan do’a tertentu yang dibaca untuk mendo’akan
orang yang sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya
berubah seperti itu.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Seperti yang telah
kita ketahui, yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di indonesia
adalah Wali Sanga. keberhasilan da’wah Wali Sanga ini tidak lepas dari
cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali
Sanga mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes mereka tidak secara
frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar kuat di
masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya
diganti dengan nilai nilai islam, tradisi dulu bila ada orang mati maka
sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan bukannya
mendo’akan simati malah bergadang dengan bermain judi atau mabuk
mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, masyarakat
dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada
mayit, jadi tahlil dengan pengertian diatas sebelum Wali Sanga tidak
dikenal.
1. Kalau begitu Tahlil itu bid’ah! Setiap perbuatan bid’ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?
Tunggu dulu, anda berada didepan Komputer ini juga bid’ah sebab tidak
pernah di kerjakan oleh nabi S A W kalau begitu anda sesat dan masuk
neraka? Akal sesat pasti menolak logika seperti ini.
it’s jangan salah menafsirkan bid’ah.
Ulama membagi bid’ah menjadi dua , bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah ,
sedangkan bid’ah hasanah sama sekali tidak sesat meskipun tidak pernah
dikerjakan oleh nabi jadi ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh nabi
atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah sesuai dengan syariat
atau tidak ! yang dimaksudkan syariat disini tentu saja dalil dalil
alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma’ dan qiyas . jika melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka sesat.
Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari’at ?
tidak ada,
tahlil adalah serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur’an,
yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat, biasanya dibaca secara
berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit , rangkaian bacaan yang
ada mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat, dari sisi ini
jelas tahlil tidak ada yang bertentangan dengan syariat.
Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka
perdebatan tidak akan menemui ujng usai, sebab itu masalah khilafiyah
dengan argumen masing masing ada yang mengatakan pahalanya bisa sampai
ada yang mengatakan tidak, pendeknya ulama’ sepakat, untuk
tidak sepakat ya sudah jangan dipermasalahkan lagi. itu urusanmu.
Hemat kita urusan pahala adalah hak prerogatif Allah yang
tidak bisa di interfensi oleh siapapun. Kita yang membaca tahlil
esensinya kan berdo’a semoga pahala bacaan kita disampaikan kepada
mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH Sahal Mahfud, kajen berpendapat bahwa
acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan
sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan
ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
2. Hukum memberi jamuan dalam tahlilan
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu
diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulamaa yang mengatakan bahwa semacam
itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan dengan
berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya
adalah termasuk sadaqah”yang, memang, dianjurkan oleh agama menurut
kesepakatan ulama’. — yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut,
yaitu,(1)
ikramud dlaif (memulyakan tamu) (2) bersabar
menghadapi musibah. (3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada
orang lain. Ketiga masalah tersebut, semuanaya, termasuk ibadah dan
perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT serta pelakunya akan
mendapatkan pahala yang besar.
Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan
dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih. Apabila biaya jamuan
tersebut diambilakan harta ahli waris yang berstatus
mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak bolehkan.
nah jika harus jual barang berharga dan segala macemnya gimane,?
bukan tahlilanya yang salah, cara orang
tersebut menyikapi hakekat tahlilan yang harus diluruskan, itulah yang
menjadi polemik masyarakat saat ini.. banyak kok didaerah saya juga
pernah, hanya menyediakan makanan ala kadarnya saja, sohibul musibah
adalah orang yang tidak punya ( beliau meminta maaf sebelumnya karena
tidak bisa menghormati tamu lebih baik dari yang mereka sediakan ini)
para masyarakatpun memaklumi dan memahami acara yang mulia inipun tetap
berlangsung dengan baik, ini harusnya bisa dijadikan contoh ditempat
lain..
ya gak kawan ?
Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala
sedekah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan
diatas. ada beberapa ulama seperti Syaikh nawawi syaikh ismail dan lain
lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu
sunnah
(matlub) Cuma hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan
dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat.
Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.
Ma’khod : Nihayatuz zain(281) , Ianatut talibin 11/166
والتصدق عن الميت بوجو شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة
ايام او اكثر او اقل وتقييد بعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد
احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث من موته وفىسابع
وفى تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا فى
يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاوى اما الطعام الذى يجتمع عليه
الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال اليتام
والا فيحرم كذافى كشف اللثام
نهاية الزين 33281
ومنها مسألة مهمة ولأجلها كانت هذه الرسالة. وهي ما يصنعه أهل
الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها للأكل. فان ذلك جائز كما يدل عليه
الحديث المذكور بل هو قربة من القرب لأنه اما أن يكون بقصد جصول الأجر
والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق. واما أن يكون
بقصد اكرام الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار الحزن وذلك أيصا من
القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء
كان ذلك يوم الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو
بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك. الى قوله
وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام
واطعامه للمعزين الحاضرين والا فيجب ذلك عملا بوصيته وتطون الوصية معتبرة
من الثلث أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة-ج 3 ص 208.
قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين 175 -181
sahabatku yang dirahmati Allah,
kata
“tahlilan “ memang didalam masa rosul tidak ada, tapi
apa yang dibaca didalam tahlilan rosul mencontohkannya,
nah inilah tuntunan, istilahnya memang belum ada, tapi isinya sudah
dari dulu Rosul menyuruh kita mengerjakannya, itulah karena pandainya
para ulama dalam menyusun suatu isitlah (tahlilan) kemudian mengumpulkan
bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat dan bacaan
lainnya. Dengan kata lain mengadakan acara Tahlilan dengan tujuan untuk
memohon kepada Allah SWT., agar kerabat atau keluarga yang telah
dipanggil kehadirat-Nya mendapatkan ampunan dan tempat yang layak
disisi-Nya, serta berbahagia di alam kubur sana.
lihatlah satu isinya, secara dzahir saja isi daripada tahlilan
tersebut sangat baik, karena berisi bacaan-bacaan dari Al Qur’an dan
surat-surat yang sudah terkenal tentang fadhilah atau keutamaan surat
tersebut, contohnya surat alfatihah.
diriwayatkan oleh sayyidina Ibnu Abbas dalam kitab Shahih Muslim :
أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ اُوْتِيْتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌ
قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيْمُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ
تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا اِلاأَعْطَيْتُهُ [2
“Bergembiralah engkau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang
diberikan kepadamu dan beleum pernah diterima oleh nabi sebelummu yakni
surat Al Fatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah. Tidaklah
kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi
imbalannya. (Shahih Muslim, 1339)
Selain dari surat Al Fatihah masih banyak lagi surat-surat dalam
bacaan tahlil yang terkenal akan fadhilah atau keutamaan surat tersebut,
seperti surat Al Ikhlas, Al Falaq, Annas dan juga surat Yasin.
Disamping itu tahlilan juga memuat do’a-do’a yang diajarkan oleh
Rasulullah,
dalam hal ini, siapa yang cerdas jawabnya jelas para ulama, yang
lebih paham tentang alquran dan hadist, yang karena kecerdasaan ingin
memudahkan bagi orang awam agar selalu mengerjakan amalan baik yang
dirangkum dalam wadah tahlilan
yang isinya semua dicontohkan
rosul saw. mulane yuk do ngaji, ngilangke kebodohan, ngerisiki ati,
golek ridhane gusti illahi robby..
dahulu ketika ada salah seorang meninggal dunia, maka yang dilakukan
oleh keluarga, kerabat dan para tetangga adalah meratapi si mayit dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti bermain kartu,
judi dan minum-minuman. Setelah para muballegh datang secara
berangsur-angsur, kemudian mereka berusaha dengan sabar dan
perlahan-lahan diajak membaca atau mengucapkan kalimah thayyibah dan
bacaan-bacaan lainnya. apakah ini tidak baik, jelas ini baik sekali,
bagaimana
jika tradisi meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman tidak diganti
dengan membaca kalimat thayyibah dan doa2 yang baik ?, bisa dipastikan tradisi buruk itu akan diteruskan sampai generasi sekarang, tak bisa membayangkan.. astagfirullah,
apa sih tahlilan itu ?
Kata tahlil atau tahlilan secara bahasa berasal dari bahasa arab dengan fiil madhi هلل ، يهلل ، تهليلا yang artinya
mengucapkan kalimah thayyibah لا اله الا الله . dengan kata lain yaitu “
pengakuan seorang hamba yang mengi’tikadkan bahwa tiada tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah semata” Sedangkan menurut istilah tahlilan artinya “
bersama-sama mengucapkan kalimah thayyibah dan berdo’a bagi orang yang sudah meninggal dunia
Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tahlil adalah
bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah meninggal dunia yang
dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau majlis-majlis dengan
harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT.
yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih,
tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki bermacam-macam
budaya, salah satunya adalah tahlilan. Hal tersebut yang telah
dipaparkan oleh almarhum
KH. Muchit Muzadi, yang mengatakan petikan hadits, “
Waladun Shalihun Yad’u lahu”
(anak shaleh yang mendoakan orang tuanya) ini dirangkaikan atau
direalisasikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Khususnya di daerah
Jawa apabila ada tetangga, kerabat atau saudara yang meninggal dunia,
maka para tetangga atau kerabat biasanya “
jagongan” (berbincang-bincang). Dengan jagongan itu mereka membicarakan orang, terus “
keademen”
(kedinginan), mereka cari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu
dan lain-lain. Tradisi itu berlangsung lama, hingga ketika para mubaligh
Islam, Walisongo atau kyai, menerapkan “
yad’u lahu” ini dirangkaikan dengan jagongan dan “
mele’an”
(begadang), yang memang prosesnya lama. Kemudian yang dulunya melean
dilakukan dengan minum-minuman dan main kartu kemudian diganti dengan
bacaan-bacaan Al Qur’an dan do’a-do’a hingga kemudian muncul apa yang
dikenal saat ini dengan istilah tradisi ritual
tahlilan, subhanallah...
kecerdasan para mubaligh dan keahlian dalam berdialog dan
negosiasi dengan agama dan tradisi lokal. Sehingga Islam mudah diterima
di Indonesia dengan baik dan bertahan lama, tidak seperti di sebagian
Negara eropa yang perkembangan Islam dilakukan dengan cara peperangan,
walaupun hasilnya cepat atau maksimal tapi kekuasaan Islam didaerah
tersebut tidak berlangsung lama. Seperti di Spanyol, Turki dan lain-lain
Seringkali terjadi ekses (berlebih-lebihan) di dalam pelaksanaan tahlilan, baik mengenai “
frekuensi”-nya
maupun suguhannya atau ekses dalam sikap batinnya (seperti merasa sudah
pasti amal orang yang ditahlili diterima Allah SWT dan segala dosanya
sudah diampuni oleh-Nya, kalau sudah ditahlili atau dihauli). Sikap
“memastikan” inilah
yang bertentangan dengan syari’at agama. Ekses-ekses inilah yang harus
menjadi garapan wajib para pemimpin umat, untuk meluruskannya. Memang
masih banyak amalan-amalan kaum muslimin yang belum sesuai benar dengan
ajaran Islam.
Sedangkan agama Islam sudah sempurna,
tetapi dalam kenyataanya kebanyakan pengamalan kaum muslimin tidak
sesempurna Islam itu. Maka dari itulah tahlilan sering jadi bahan
perdebatan bagi kelompok yang tidak setuju dengan tahlilan ataupun
kelompok pembaharu yang sengaja ingin membumi hanguskan acara ritual
tahlilan karena dianggap sesat, bid’ah dan tidak mempunyai
landasan-landasan yang kuat. astaqfirullah,
Dalam Artikel karangan
Drs. KH. Ahmad Masduqi yang berjudul “
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Ijtihad”
Ritual Tahlilan atau upacara selametan untuk orang yang meninggal,
biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ke-tujuh atau
bahasa jawanya
mitung dina, selanjutnya dilakukan pada hari
ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, dan
ada juga yang melakukan pada hari 1000. Dalam upacara dihari-hari
tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa
ayat dan surat Al Qur’an, dan zikir seperti : tahlil, tasbih, tahmid,
shalawat dan do’a-do’a, pahala bacaan Al Qur’an dan dzikir tersebut
dihadiahkan kepada si mayit. Menurut penyelidikan para ahli, upacara
tersebut diadopsi oleh para da’I terdahulu dari upacara kepercayaan
animisme, agama budha dan hindu yang kemudian diganti dengan ritual yang
diambil dari Al Qur’an dan Hadits.
Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang
meninggal dunia, maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari
mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai
yang berkumpul-kumpul mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti
membakar kemenyan, dan sesaji kepada yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka
ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) kedalam jasad orang
yang masih hidup dari keluarga si mayyit. Maka untuk itu semalaman para
tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca
mantera-mantera atau sekedar berkumpul-kumpul. Hal seperti itu dilakukan
pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiaga, ketujuh,
ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000. ٍSetelah orang-orang
yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk islam, mereka tetap melakukan
upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da’I terdahulu
tidak memberantasnya tetapi mengalihkan dari upacara yang bersipat Hindu
dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan islam. Sesaji diganti
dengan nasi dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera-mantera diganti dengan
dzikir, do’a dan bacaan-bacaan Al Qur’an. Upacara seperti ini kemudian
dinamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar
masyaraka
Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan
yang dianut bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut
paham ini ruh dari orang-orang yang sudah mati itu sangat menentukan
bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang masih hidup di dunia
ini. Disamping itu bangsa-bangsa yang menganut paham Animisme ini juga
berkeyakinan bahwa ruh orang yang sedang mengalami kematian itu tidak
senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan
ingin mengajak anggota keluarganya yang lain.
Untuk itu agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak
keluarga yang lain, maka anggota keluarga yang ditinggal mati itu
melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut:
1. Menyembelih binatang ternak seperti : kerbau, sapi, kambing, babi
atau ayam milik si mayyit, agar nyawa binatang tersebut menemani ruh si
mayyit, agar ruh si mayyit tidak marah kepada anggota keluarganya.
2. Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat si mayyit yang sudah
ditanam di dalam kubur mulai membengkak, di tempat tidur orang yang mati
bagi orang jawa di atas buffet yang telah dipasang fotto dari orang
yang mati bagi orang cina, diberikan sesaji agar ruh dari orang yang
mati tidak marah, demikian pula pada hari ketujuh, keempat puluh,
keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari kematian.
3. Bagi orang cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah
duka beberapa hari lamanya dan selama itu papan nama dari rumahnya
disilang dengan kertas hitam atau lainya untuk mengenalkan kepada ruh si
mayyit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya diberi silang. Dan
setelah si mayyit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang, dengan
maksud agar apabila ruh si mayyit tersebut pulang kerumahnya, ruh itu
tersesat tidak dapat masuk kedalam rumahnya, sehingga tidak dapat
menggangu anggota keluarganya.
4. Bagi orang jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam
di depan mayyit sewaktu mayyit dibawa ke pekuburan dengan maksud untuk
memberitahukan kepada si mayyit bahwa jalanya dari rumah sampai ke
pekuburan adalah yang ada beras kuning dan uang logam. Sehingga jika ruh
si mayyit ingin pulang kerumah untuk menggangu anggota keluarganya dia
tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya
sudah tidak ada lagi Karena beras kuningnya sudah di makan oleh ayam
atau burung, sedang uang sudah diambil oleh anak-anak. Adapula yang
mengeluarkan jenazah dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi
harus dibobolkan pagar rumah yang segera ditutup kembali setelah jenazah
dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan maksud agar ruh si mayyit tidak
dapat lagi kembali ke rumah.
Pada waktu agama Hindu dan Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini
tidak dapat merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia
yang berpaham animisme tersebut, sehingga tradisi tersebut berlangsung
terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para
penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo.
Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah
berurat berakar setelah ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya,
tidak diberantas, tapi hanya diarahkan dan dibimbing sedemikian rupa,
sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Dengan demikian ritual Tahlil khususnya yang ada di Indonesia, adalah
hasil dari negosiasi antara agama pribumi dengan agama Islam yang
datang kemudian, , yang dilakukan oleh para ulama dan wali songo, dan
mereka tentunya mengerti akan kondisi bangsa Indonesia. karena manusia
dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkunganya.
dan tentunya walisongo adalah orang yang betul-betul paham alquran
dan hadist secara mendalam, mereka semua hafal alquran, dan mereka
membuat suatu amalan pasti bukan karena nafsunya semata, untuk itulah
yang sering membidahkan
.
cara mudah untuk memahami islam adalah berfikir,
cobalah engkau berfikri sejenak, isi tahlilan ini, dimana letak tercelanya....
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اّلتَّهْلِيْل
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمِ وَأَلِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَأَوْلادِهِ وَذُرِّيَاتِهِ.
الفاتحة………..
ثُمَّ إلِىَ حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ الانبِيَاءِ
وَالمُرْسَلِيْنَ وَالاوْلِيَاءِ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابعِيْنَ
وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ
وَالْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخ
عَبْدُالْقَادِرْ الَجَيْلانِى. الفاتحة………………………
ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الْقُبُوْرِمِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسلِمَاتِ وَِالمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ
الارْضِ إلى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وََبَحْرِهَا خُصْوُصًا إلى أبَائِنَا
وَأُمَهَاتِنَا وَأَجْدَادِنَا وَجَدَاتِنَا وَمَشِّايَخِنَا وَمَشَايِخِ
مَشَايِخِنَا وَأَسَاتِذَاتِنَا وَأَسَاتِذَةِ أَسَاتِذَتِنَا وَلِمَنْ
إِجْتِمَعِنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ. الفاتحة……………………
Dan ada juga yang setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan
membaca Surat Yasin kemudian dilanjutkan dengan surat yang ada dibawah
ini.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ
يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) لأإله
إلاالله X 1
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ
فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2)
إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي
يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
لأإلَهَ إلااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلَهِ الْحَمْدُ بِسْمِ اللهِ الْرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7)
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) وَإِلَهُكُمْ إِلَهُ وَّاحِدْ,
لَااِلَهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمَنِ الْرَّحِيْمِ
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ
بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ
الْعَظِيمُ (255) لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ
اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (284) آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ
وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ
رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا
كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا
تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا
وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ (286)
إِرْحَمْنَا يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهَ عَلَيْكُم أهْلَ
الْبَيْتِ إنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. إنَمَا يُرِيْدُ اللهِ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمُ الرِجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهَّرُكُمْ تَطْهِيْرَا.إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
(56)اَللَّهُمَّ صَلِّى أَفْضَلَ الصَلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوقَاتِكَ
نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ
كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ
الْغاَفِلُوْنَ . اَللَّهُمَّ صَلىِّ اَفْضَلَ الصَّلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ
مَخْلُوْقَاتِكَ شَمْسِ الضُّحَى سَيِّدِنَا وَمَوْلانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَمَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَكَلِمَاتِكَ
كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ. وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ
اَللهَّمَ صَلِّى أَفْضَلَ الصَّلَاةِ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ
بَدْرِ الدُّجَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ
كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَاكِرُوْنَ . وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ .
وَسَلَِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعََالىَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُولِ
اللهِ أَجْمَعِيْنَ . حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكيِلْ. نِعْمَ
الَموْلَى وَنِعْمَ النَّصِير. وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلابِاللهِ
العَلِيِّ الْعَظِيْمِ . أَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ .3X
أَفْضَلُ الذِكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ :
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ مَوْجُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ مَعْبُوْد
لاإله إلاألله ……..حَيٌّ باَق
لاإله إلاألله ….. X 100
لاإله إلاألله محمد رسولالله
أللهم صلى على سيدنا محمد, أللهم صلى عليه وسلم X 3
أللهم صلى على سيدنا محمد يارب صل عليه وسلم X1
سبحان الله وبحمده . سبحان الله العظيم …….. X7
سبحان الله وبحمده . سبحان الله العظيم وبحمده ….. X3. أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم ……… X 3
. أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وبرك وسلم أجمعين . الفاتحة ………….
دعا الفاتحة
بِسْمِ اللهَِ الرَحْمَنِ الرَحيْمِ الَحَمْدُ لِلَهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . اَلَّلهُمَّ صَلِّى عَلَى سَيِّدِنّا مُحَمَّدٍ
فِي الاَوَّلِيْنَ . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي
الاَخِرِيْنَ. . وَصَلِّ وَسَلِّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي المَلَاءاِلاَعْلَى
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ وَاَوْصِلْ ثَوَابَ
مَاقَرَأْنَاهُ مِنَ القُرْأَنِ العَظِيْمِ . وَمَا قُلْنَا مِنْ قَوْلِ
لَااِلَهَ اِلَّا الله وَمَا سَبَّحْنَاهُ وَبِحَمْدِهِ . وَمَا
صَلَّيْنَاُه عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
فِى هَذَا المَجْلِسِ المُبَارَك , هَدِيَّةً وَاصِلَةً , وَرَحْمَةً
نَازِلَةً , وَبَرَكَةََ شَامِلَةً , وَصَدَقَةً مُتَقَبَّلَةً , نُقَدِّمَ
ذَلِكَ وَنُهْدِيْهِ اِلَى حَضْرَةِ سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا
وَشَفِيْعِيْنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ صَلَى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ . ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ أَبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ
الاَنِبيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ . صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَمُهَُ عَلَيْهِ
وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ .وَإِلَى رُوْحِ أَلِ كُلِّ وَالصَحَابَةِ
وَالقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَّابِعِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَاِن إِلَى يَوْمِ الدَّيْنِ . ثُمَّ إِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ
القُبُوَْرِ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وَالمًؤْمِنَاتِ الاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالَامْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ
الاَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَابَرِّهَا وَبَحْرِهَا خُصُوصًا إِلَى
أَبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَسَاتِذَتِنَا وَأَسَاتِذَةِ أَسَاتِذَتِنَا
وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَاهُنَا بِسَبَبِهِ وَلِاَجْلِهِ اَللَّهُمَّ
اغْفِرْلَهُ (لها / لهم ) وَارْحَمْهُ (لها / لهم ) وَعَافِهِ (لها/ لهم ) وَعْفُ عَنْهُ (لها /
لهم ) وَوَالِدِيْنَا وَوَالِدِيْهِمْ وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ .
اَللَّهُمَّ اجْبُرْانكِسَارَنَا وَاقْبَلِ اعتِذَارَنَا واَخْتِمْ
باِلصَّالِحَاتِ أَعْمَالَنَا وَعَلَى الاِيْمَانِ وَالاِسْلَامِ جَمِيْعًا
تَوَفنَّاَ . وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا . وَلَاتُخَيِّبْنَا رَبَّنَا
ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ
الْعِزَّةِ عَمِّا يَصِفُوْنَ . وَسَلَامٌ عَلَى المُْرسَلِيْنَ وَ
الْحَمْدُ لِلَهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ . الفاتحة…………………
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tahlil adalah perkara yang baik (
khair) bukan perkara yang buruk (
sayyiah)
karena berisikan shalawat, tasbih, tahmid, tahlil dan do’a-do’a yang
bagus serta tahlil juga bisa melatih lisan untuk selalu berdzikir kepada
Allah
beberapa keutamaan tahlilan yang populer
1. Surat Al Fatihah
روى مسلم في (صحيحه) سنده, عن ابن عباس رضى الله عنهما قال:
بينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه وسلم سمع نقيضا من فرقه , فرفع
رأسه فقال : ((هذا باب من السماء فتح اليوم لم يفتح قط الا اليوم . فنزل
منه ملك فقال: هذا ملك نزل الى الارض لم ينزل قط الا اليوم . فسلم وقال:
أبشر بنورين أوتتهما لم يؤتهما نبي قبلك , فاتحة الكتاب وخواتيم سورة
البقرة . لن تقرأ بحرف منهما الا أعطيتها)).[52]
“Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, ketika Malaikat Jibril duduk
bersama Nabi SAW, beliau mendengae suara pintu terbuka dari atasnya.
Kemudian Nabi SAW menengadahkan kepala. Malikat Jibril AS lalu berkata,
pada hari ini pintu langit dibuka dan belum pernah dibuka sebelumnya.
Malaikat turun kebumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini. Ia
kemudian mengucapakan salam kepana Nabi SAW seraya berkata,
bergembiralah engakau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan
kepadamu dan belum pernah diterima oelh Nabi sebelumnya, yakni surat Al
Fatehah dan beberapa ayat terakhir Surat Al Baqarah. Tidaklah kamu
membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalanya.”
وروى البخري في (صحيحه) بسنده, عن أبي سعيد ابن المعلى رضي
الله عنه قال : كنت أصلى, فدعانى النبي صلى الله عليه وسلم فلم أجبه, قلت:
يارسول الله إني كنت أصلى, قال : ألم يقل الله (استجيبوا لله وللرسول إذا
دعاكم) ثم قال : الا أعلمك أعظم سورة في القرأن قبل أن تخرج من المسجد.
فأخذ بيذي, فلما أردنا أن تخرج قلت: يا رسول الله . إنك قلت :لأعلمنك أعلم
سورة في القرأن , قال: (الحمد لله رب العالمين) هي السبع المثاني والقرأن
العظيم اللذي أوتيته)[54]
“Diriwayatkan dari Abi Sa’id Bin Ma’ali RA, ia berkata, ketika
saya sedang shalat, kemudian Nabi SAW memanggil saya kemudian saya tidak
menemui Nabi, kemudian saya berkata, ya Rasulallah sesungguhnya saya
telah melakukan shalat, kemudian Nabi berkata, bukankah Allah telah
berfirman “Istajibu lillahi Wa lirrosuli ida dakum” kemudian Nabi
Berkata, maukah kamu saya ajarkan surat yang agung yang ada dalam Al
Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid”, sambil memegangi tanganku.
Kemudian ketika saya hendak keluar maka saya berkata kepada rosul bahwa
engakau mau mengajarkan surat kepada saya, maka rasul menjawab, yaitu
“Al Hamdu lillahi Rabbil Alamin”. Dia adalah tuju ayat yang
diulang-ulang dan juga Al Qur’an yang paling agung yang diberikan
kepadaku”.
- Surat Al Ikhlas
روى البخرى فى (صحيحه) بسنده عن أبى سعيد الخذرى رضي الله عنه
أن رجلا سمع رجلا يقرأ : (قل هو الله أحد) يرددها فلما أصبح جاء إلى النبي
صلى الله عليه وسلم فذكر له ذلك وكأن الرجل يتقالها . فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم (والذي نفسي بيده إنها لتعدل ثلث القرأن)[55]
“
Ada seorang laki-laki mendengar seseoarang laki-laki lain yang
sedang membaca surat Al Ikhlas dengan berulang-ulang, tatkala pagi hari,
laki yang mendengar itu mendatangi rosul dan menyebutkan demikian
seakan-akan laki-laki tersebut menganggap remeh terhadap surat Al Ikhlas
maka Rasul menjawab Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaanya,
sesungguhnya Al Ikhlas dapat membandingi sepertiga Al Qur’an.”
3. Surat Al Falaq dan Surat An Nas
وروي الترمذي بسنده عن عقبه بن عامر الجهنى رضي الله عنه عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: (قد أنزل علي أيات لم ير مثلهن : قل أعوذ
برب الناس. إلى أخر السورة . و قل أعوذ برب الفلق. إلى أخر السورة)[56]
“
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Uqbah Bin
Amir Al Juhni RA. dari Nabi SAW. Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah
telah menurunkan kepadaku beberapa Ayat yang Nabi belum melihat yang
menyerupainya (yang menyamainya ) yaitu: Surat Annas dan Surat Al
Falaq”.
4. Bacaan Laa Ilaaha Il lallah
bacaan Tahlil sudah sedikit disinggung tentang keutamaan kalimah
Thayyibah, bahwa kalimat tersebut adalah sebaik baiknya dzikir seperti
yang diriwayatkan oleh Shahbat Jabir Bin Abdillah. Selain dari pada
keutamaan tersebut, Kalimah Thayyibah juga memiliki keutamaan yang lain
diantaranya; Hadis yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra.
وروى الترمذي بسنده عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: مَا قَالَ عَبْدٌ لا إله إلا الله قَطٌّ
مُْحلِصًا إلا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ حَتَّى تُفْضِي إلى
العرشِ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ. [57]
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaa Ha Illallah dengan penuh
keikhlasan melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga
Laa Ilaa Ha Illallah dilaporkan keatas selama ia menjauhi dosa-dosa
besar.”
Dan masih bnyak lagi keutaman daripada kalimah Thayyibah tersebut.
Dalil alquran dan hadist
DALIL DARI ALQURAN
Seperti yang tersebut didalam Al Qur’an:
1. Qs. Muhammad 19
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“dan mohonlah ampunnan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”
Dari ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya.
2. Qs. Al Nuh 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ
مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ
إِلَّا تَبَارًا
“Ya tuhanku ampunilah aku. Ibu bapakku, orang yang masuk
kerumahku dengan beriman, serta semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim
itu selain kebinasaan.”
3. Qs. Ibrohim 40-41
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41)
“Ya tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang
tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami, perkenankanlah do’aku . Ya tuhan
kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang
mukmin pada hari terjadinya hisab.”
4. Qs. Al Hasyr 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
anshar), mereka berdo’a, ya tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau
MahaPenyantun lagi Maha Penyayang.”
5. Qs. At Tur 21
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ
بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ
عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,
dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap
mausia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Mengenai ayat ini Syekh ‘Alauddin Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al Baghdadi memberikan penjelasan sebagai berikut:
“kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa
dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka
sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman
seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang
tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya
menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua
mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sesuai dengan derajat orang tua
mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang
tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar
mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas ra.”
6. Al-Baqarah : 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)
“dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memnuhi (segala
perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran .“[72]
Beberapa ayat dan keterangan tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang
yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri.
Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
DALIL DARI HADIST
Selain dalil dari Al Qur’an yang menerangkan bahwa, orang yang sudah
meninggal dunia dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain, dalam
hadispun tedapat keterangan yang menyatakan hal tersebut. Seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Shahabat Abu Hurairah ra.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا
صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاَء (سنن الترمذى
رقم 2784)
“Dari Abu Hurairah RA, Aku mendengar Rosulullah SAW bersabda,
Jika kamu semua menshalati mayit, maka berdo’alah dengan ikhlas
untuknya. (Sunan Al Tirmidzi, 2784)”
Hadist tersebut secara jelas menerangkan bahwa Rosulullah SAW
memerintahkan kepada umat islam untuk mendo’akan orang yang sudah
meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini berarti bahwa do’a yang
dibaca dengan ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang dimaksud. Juga
hadits lain menerangkan bahwa Rosul pernah mendo’akan orang yang sudah
mati seperti hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra.
عَنْ عَوْفٍ بْنٍ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ
دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ
وَاعْفُ عَنْهُ وَاَكْرِمْ نُرُلَهُ وَوَسِعْ مَدْخَلَهُ وَاَغْسِلْهُ
بِالْمَاءِ وَالْثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا
نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْاَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًا
خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلًا خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا
مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةًَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ (صحيح مسلم, رقم ..16)
“Diriwayatkan dari Auf bin Malik RA, ia berkata, Rasulullah SAW
pernah menshalati jenazah dan saya hafal do’a Rasulullah SAW tersebut.
Do’a yang beliau baca adalah, Ya Allah, ampunillah dosanya, kasihanilah
dia, selamatkanlah dan maafkanlah dia. Ya Allah, baguskanlah tempat
kembalinya, luaskanlah kediamanya, bersihkanlah ia dengan air dan embun,
bersihkanlah ia dari dosa-dosanya, sebagaimana Engkau membersihkan baju
putih nan suci dari kotoran. Berilah ia rumah yang lebih bagus,
karuniakanlah isteri yang lebih baik dari isterinya (ketika di dunia),
masukanlah ia kedalam surga, dan selamatkanlah ia dari siksa kubur dan
siksa api neraka.”
Hadits tersebut menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah mendo’akan
orang yang sudah mati dan memohon agar dosanya diampuni. Maka semakin
jelaslah orang yang sudah meninggal dunia dapat memperoleh manfaat dari
amal orang-orang yang masih hidup.
اَنَّ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا سَأَلَتِ النَّبِيَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ أَقُوْلُ إِذَا اسْتَغْفَرْتُ
لِاَهْلِ الْقُبُوْرِقَالَ قُوْلِى اَلسَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الْدِّيَارِ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ
الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ
بِكُمْ لَاحِقُوْنَ (صحيح مسلم, رقم 1619)
“Sesungguhnya ‘Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, apa yang
harus dibaca ketika kami memohon ampun bagi ahli kubur? Rasulullah SAW
menjawab, Ucapkanlah, Salam sejahtera atas engkau semua wahai ahli kubur
dari golongan mukminin dan muslimin, semoga Allah SWT melimpahkan
Rahmat-Nya bagi orang-orang yang mendahului serta orang-orang yang
datang kemudian dari kami. Dan Insya Allah kami akan menyusul kalian.”
Hadits diatas menerangkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk ziarah
kubur dan mengucapkan salam kepada ahli kubur serta mendo’akannya dan
ada juga hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW sering ziarah
kemaqam baqi’. Bisa dipahami dari penjelasan tersebut, bahwa ahli kubur
dapat mendengar salam dari orang yang mengucapkan salam kepada ahli
kubur tersebut dan memperoleh manfaat dari do’a tersebut.
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه
وسلم إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ
اِسْتَغْفِرُوا لاَخِيْكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالْتَّثْبِيْتِ فَاِءنَّهُ
الآنَ يُسْأَلُ (سنن ابي داود, رقم 2804 )
“Dari Usman bin Affan, ia berkata jika Nabi Muhammad SAW selesai
menguburkan jenazah, beliau berdiri didekat kubur lalu bersabda,
hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan bagi saudaramu (yang
meninggal ini) baginya karena saat ini dia sedang ditanya oleh
malaikat.”
عَنْ عَائِسَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلا أَتَى
النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
إِنَّ أُمِّىْ أُفْتُلِتَتْ َنفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظَنُّهَا لَوْ
تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟
قَالَ نَعَمْ (صحيح مسلم , رقم 1672 )
“Dari ‘Aisyah RA, seseorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Muhammad SAW, Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat
berwasiat. Saya menduga seandenya dia dapat berwasiat, tentu ia akan
bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas
namanya ? Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya”.”[77]
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا
أَحَدُهُمَا فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الاخَرُ
فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيْدَةً رَطْبَةً
فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ , قَالُوا يَا
رَسُولُ الله لِمَ فَعَلْتَ هَذَا ؟ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا
مَالَمْ يَيْبَسَا (صحيح البخارى, رقم 209)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, suatu hari Nabi SAW
berjalan melewati dua pemakaman. Kemudian beliau bersabda, kedua orang
yang berada dalam kuburan ini sekarang sedang disiksa. Namun keduanya
disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena ia kencing dan
tidak menutup auratnya. Dan yang lain disiksa karena suka mengadu
domba. Lalu Nabi SAW mengambil pelapah kurma dan membelahnya menjadi
dua, kemudian menancapkanya diatas kubur masing-masing. Para shahabat
bertanya, mengapa engkau melakukan hal tersebut ? Nabi SAW menjawab,
semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa selama pelepah kurma ini
belum kering.”
عَنْ مَعْقِلٍ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَيس قَلْبُ اٍلقُرْأَنِ لا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ
يُرِيْدُ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ الاخِيْرَةَ إلا غُفِرَ
لَهُ وَاقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (مسند احمد بن حنبل , رقم 1941 )
“Diriwayatkan dari Ma’kil bin Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, surat yasin adalah intisari Al Qur’an. Tidaklah seseorang
membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah SWT akan
mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat Yasin atas orang-orang yang
telah meninggal diantara kamu sekalian.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ . قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ
ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ وَأِلَهُكُمُ
الْتَكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ
كَلَامِكَ لاَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى (أخرجه أبو القاسم الزنجاني ,
حول خصائص القرأن : 46 )
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,
barang siapa memasuki pemakaman lalu membaca sura Al Fatihah, Al Ikhlas
dan At Takatsur, lalu berdo’a, Aku hadiahkan bacaan yang aku baca dari
firman-Mu untuk semua Ahli Qubur dari kalangan mukmiin dan mukminat,
maka semua ahli qubur itu akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada
orang yang membaca surat tersebut.”
كَانَتِ الاَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا عَلَى قَبْرِهِ يَقْرَؤُنَ عِنْدَهُ الْقُرْأَنَ (الروح: 11 )
“Jika ada shahabat dikalangan Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan kuburnya sambil membaca Al Qur’an.”
Demikianlah beberapa Hadits yang bisa Disebutkan dalam penulisan
risalah ini, tentunya masih banyak sekali dalil-dalil dari hadits yang
menjelaskan bahwa amaliyah orang yang masih hidup dapat bermanfaat bagi
orang yang sudah meninggal dunia, dan dengan disebutkannya beberapa
dalil dari hadits yang tersebut diatas penulis berharap bagi para
pembaca ketika melakukan ritual tahlil tidak lagi mersa bimbang dan
khawatir kalau-kalau perbuatan tersebut sia-sia.
sungguh hanya orang-orang yang paham mendalam alquran dan
hadist sajalah yang bisa demikian, itulah hebatnya para ulama, maka
telitilah kawan, kajilah, maka engkau kan dapatkan kebenaran-kebenaran.. jangan gunakan nafsumu, maupun kebodohan-kebodohanmu…
beberapa pendapat tentang tahlilan
- Pendapat Almarhum KH. Muchit Muzadi dalam artikelnya yang berjudul “Tidak Mungkin Agama Terlepas dari Tradisi Lokal”
yang termuat dalam majalah Afkar sebagai berikut: “bagaimana sebenarnya
pandangan Nahdlatul Ulama terhadap tradisi local ? NU termasuk
organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa dikatakan
lebih bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi islam
yang lain. “Agama apa sih yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan
percampuran dengan tradisi lokal ? itu tidak mungkin. Karena agama itu
untuk manusia dan manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh
lingkungannya”.Dengan dicontohkan “waladun shalihun ya’du lahu” di Indonesia waladun shalihun dirangkaikan dengan cara ritual tahlilan.
- Imam Al Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya
dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Al Qur’an, Dzikir dan Do’a, itu
adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan
pada masa Rosulullah. Begitupula tidak ada larangan untuk menghadiahkan
pahala bacaan Al Qur’an atau lainnya kepada orang yang sudah meninggal
dunia.
- Imam Ibnu Taymiah Syaikhul Islamnya Salafiyyin (Wahabi) suatu ketika
pernah ditanya, apakah bacaan keluarga mayyit, tasbih, tahmid, takbir,
tahlil jika dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit akan sampai atau
tidak? Maka beliau menjawab: “akan sampai bacaan keluarga si mayyit
seperti bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan seluruh jenis dzikir kepada
Allah jika dihadiahkan kepada mayyit akan sampai”
- dan masih banyak lagi…
kawanku semua yang dirahmati Allah,..
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya
nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau
bermunajat bersama. nah kan sudah jelas….
hanya sebuah nama...
Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada
Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid,
takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
apakah itu salah? apakah itu bidah? jelas tidak kawan….
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir,
hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama.
(Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana
hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang
berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah
pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu
bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau
shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada
Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa
“seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”,
dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat
menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun
menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan
untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan
keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits
no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit)
merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang
memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya
terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan
lafadz :
“Kuhadiahkan”, atau wahai Allah
kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini
tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak
sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman
amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian
pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil)
tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG
DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh
dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA
DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang
bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang
mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal
perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal
si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan
juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk
mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA
KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”,
(QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan
berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih,
shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan
tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama
saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula
bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat
azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits
Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi,
Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket,
atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara
berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an,
tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam
Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan
pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan
tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah
yang sudah diperbolehkan , justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah
mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang
alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan
pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha
illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak
ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan
untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau
kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana
dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat
orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat
istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar
syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang
berpuasa pada hari 10 muharram,
bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena
mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami
lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan
muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi
saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah,
maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan
ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al
Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat,
maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw :
Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku
mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat
Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw,
ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka
Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya. Kita bisa melihat bagaimana
para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits
yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan
hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata
Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
Berkata
Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj
: “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya
untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk
Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70
ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan
wafat pada 313H
Berkata
Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy,
aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan
aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw.
(Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
sahabatku yang aku sayangi karena Allah,
seseorang bertanya kepada habieb munzir Almusyawwa
MOhon habib memberikan penjelasan mengenai kutipan al Umm imam Syafi’i ini,
Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid
mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini
banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al
Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbaharui kesedihan .”
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, beliau menerangkan bahwa
berkumpul di rumah ahli mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan
memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si pemilik rumah, yg anggota
keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak mesti
menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh
dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak
menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i) dengan tegas
MENGHARAMKAN
berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja,
bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai
Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad
(I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit )
dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ”
Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan
Hambali) sepakat dengan melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka
berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang larangan hal tersebut
melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan tidak
ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan
para sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan
terhadap si mayit. Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian,
TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan
adopsi dari agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan
tertentu mengapa beliau2 tidak menghapus budaya ini. Salah satu alasan
yg aku ketahui adalah untuk memudahkan penyebaran agama Islam.
Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sangat
mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu a’lam
jawaban habieb munzir atas pertanyaannya itu..
Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
sebenarnya sudah jelas, bahwa ucapan Imam Syafii itu
diselewengkan maknanya oleh mereka, “Ma’tam” adalah perkumpulan ratapan
dan tangisan, orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka
maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka,
semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya,
sebagaimana masa kini ada group Band penghibur, dimasa lalu juga ada
Group penangis, khusus untuk meratap dirumah duka.
ini yg tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam syafii
mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya
yaitu tidak meratap dan menjerit2, tapi disebut perkumpulan Duka,
namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena
Ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg Ma’tam yg dimasa
Jahiliyah,
karena jika Ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan
beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan
dirumah duka, maka beliau memakruhkannya.
kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adala “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.,
Makruh mempunyai dua makna, yaitu : makna bahasa dan makna syariah.
makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
sang penulis menyelewengkan ucapan Imam Syafii yg
mengatakan bahwa hal itu Makruh, justru Imam syafii tidak menjatuhkan
hukum haram, karena jika haram maka beliau tak akan menyebut membenci,
tapi haram secara mutlak,
sebab dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum,
maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada
dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram,
makruh, mubah, sunnah, wajib
maka jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah
benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan
imam syafii itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
karena menurut kaidah ushul bahwa semua imam dan ulama
dan siapapun, tak berhak memberi pendapat pada suatu hukum dg perasaan,
tapi mereka jika berhadapan dg hukum mestilah fatwa syariah yg
disampaikan, bukan perasaan benci, senang dll, karena hal itu bukan
dalil.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa
ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada
muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن
أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها
قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi
saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal
mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia
akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw
menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Berkata Al Hafidh Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas)
menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan
pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat)
para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa”
(syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud
bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya
untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka
menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini
sunnah.
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan
khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan
itu :
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya
tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi
mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah,
berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak
sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah mengundang orang
dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan
tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala
kadarnya saja, bukan Jamuan, hal ini berbeda dalam syariah, jamuan
adalah makan besar semacam pesta yg menyajikan bermacam makanan, ini
tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yg ada adalah sekedar
besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue kue atau nasi
sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung
hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg
menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh
berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg
dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar
datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid;ah buruk yg
makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah
munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu
sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti
memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram,
Entahlah para wahabi itu tak faham bahasa atau memang
sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan,
yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat
menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dam
hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yg dangkal dalam
pemahaman syariahnya,
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan
“Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya
begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada
dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg
dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya
haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan
makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram
tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan
orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak
sampai mengharamkannya. Orang orang wahabi menafsirkan kaliamt
“makruh”adalah hal yg dibenci, tentu mereka salah besar, karena imam
imam ini berbicara hukum syariah bukan bicara dicintai atau dibenci.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat
baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit
wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan
haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah
sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg
ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan
sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg
pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya
bahkan mendapat pahala jika dilakukan.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan
merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh),
tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah
duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila
keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak
suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari
stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu
mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat
berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah,
Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu
yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila
dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg
bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat
dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram
beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan
berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak
mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil
ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut WAHABI sangat jauh
berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat
Bid’ah terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram
(rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam
Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah
bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan
yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yg
mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah
Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu
tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat
hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan
burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah buruk (munkarah) yg makruh,
tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan
sajadah semacam itu, namun Bid;ah buruk yg makruh, tidak haram, karena
shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas
makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat
pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena
hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru
perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu
diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg
berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap
dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu
(Almughniy Juz 2 hal 215)
(disini hukumnya berubah, yg asalnya makruh, menjadi
Mubah bahkan hal yg mulia, karena tamu yg berdatangan dari jauh, maka
jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga
duka dan kebutuhan tamu,
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat
jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu
setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama
mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk,
lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli dan menyembelih
kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka
parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang orang”
(AL Hafidh Al Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199
no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)
dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari,
maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang orang selama hari
hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul
‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat
mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah
kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga
Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yg membuat mereka sibuk”
(diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998 dg sanad hasan, dan di
Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
demikian pula riwayat shahih dibawah ini ;
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل
للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ
بالطعام ووضعت الموائد ، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس
بن عبد المطلب : أيها الناس ! إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات
فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل
فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada
Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari
hingga mereka memilih seseorang, maka ketikan hidangan hidangan
ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah
Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat
Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar
ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg
mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan
tangannya dan makan, maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing
masing dan makan.
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal
fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn
Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh
Juz 1 hal 110)
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg dibuat
oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram
namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
2. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya
sunnah,
sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi
saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku
bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits
no.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian
adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi
sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu
saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang,
atau makanan.
5. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak
ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yg akan saya sebutkan
bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan tuk menjamu tamunya jika ia
wafat
6. boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau
ketring untuk menyambut tamu tamu, karena pelarangan akan hal itulah yg
akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.
7. makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka
–
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yg
diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar),
sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk
kegembiraan,
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor
kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing
selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada
larangannya, bahkan mendapat pahala.
MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها
بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن
الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد
موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع
الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى
وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على
الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما
عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى
كتاب الصيام ان شاء الله تعالى
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت
وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل
الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح
البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة
أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه
أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن
هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار
هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن
يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء
والصدقة والحج فانها تصل
Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya
maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk
mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan
membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah
pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul
Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa
Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa
mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini
Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari
nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu
ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii
dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa
yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain
yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam
Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat
kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas
nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab
Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat
sahabat Syafii yg mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama
mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa
shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana
diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan
atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat
ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha)
shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin
Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan
bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin
Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan :
“kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa
Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini
seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad
Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh
bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat
mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka
adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2
shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.
(Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada
dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai,
namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur,
Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai,
walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif,
dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan
pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting
tambal”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di
web web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan
mereka :
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء
وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح
الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا
واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث
الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat
bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula
menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat
atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan
nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila
haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah,
demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun
berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg
membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak
sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari
ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal
berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim
Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر
اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله
لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم
قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى
جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر
بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا
قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة
البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل
للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah
diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat
alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh
pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah,
dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat
lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya
Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad),
apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad
menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata
Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari
ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan
penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata
Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an
dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما
أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت
وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه
لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء
وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح
المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور
والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء
فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى
الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري
في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب
والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang
lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit
dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan
pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal,
dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii
mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai
pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka
sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon
penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila
dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk
dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai
dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg
jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg
sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al
majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada
yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan,
ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun
kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka
tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan :
Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst
(Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari
alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh
Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg
mengatakannya tak sampai.
kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,
bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru
kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka saya
mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.
demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tak bersanad kepada
buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh Buku buku,
namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku buku.
jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam
Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan
Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada nabi Muhammad
saw,
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.
Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada
muslimin lainnya, adalah yg bertanya tentang hal yg tidak diharamkan
atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena ia
mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)
(habieb munzir almusyawa)
Menentukan jumlah hari (7 hari, 40, 100, setahun, 1000, dsb)
Pemilihan waktu dalam dzikir, doa maupun tilawah adalah sesuatu yang
mubah saja karena dzikir, doa dan tilawah bisa dilakukan kapan pun.
Memang ada waktu-waktu yang lebih dianjurkan semisal berdoa setelah
shalat, membaca Al-Kahfi di malam Jum’ah, berdzikir di akhir malam dsb,
namun hal itu tidak berarti bahwa dzikir di waktu lain itu tidak
dianjurkan atau malah dilarang.
Demikian pula menentukan
dzikir di hari ke 1, 5, 7, 8, 15 dsb adalah hal mubah sepanjang tidak
dijadikan pandangan keharusan karena memang tidak ada kewajiban ataupun
anjuran untuk menetapkan jumlah hari tertentu. Penetapan hari 3, 7, 40,
100, 1000 hari dst sebetulnya tidak begitu saja ditetapkan, namun
berdasarkan pada riwayat-riwayat meskipun memang dha’if sanadnya. Tetapi
kedha’ifan tersebut tidak lantas mengubah hukum penetapan hari yang
mubah menjadi makruh atau haram kecuali dianggap suatu keharusan.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memahami
penetapan jumlah hari ini sebagai keharusan akibat faktor gengsi atau
pengajaran yang keliru dari para tokoh agama setempat. Hal ini harus
diperbaiki agar tidak menimbulkan madharat apalagi jika dikaitkan dengan
biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat acara, padahal tujuan dari
penetapan waktu-waktu tsb lebih pada
upaya untuk secara
konsisten mendoakan orang tua yang telah meninggal sebagai salah satu
jalan pahala yang tetap mengalir setelah seseorang wafat.
Bisa kita saksikan di masyarakat kita ada keluarga yang sampai harus
menjual harta hanya untuk membuat acara 40 hari padahal kehidupan mereka
sendiri compang-camping penuh kekurangan. Imbas-imbas buruk ini harus
dikikis tanpa perlu menggeneralisasikan bahwa penetapan waktu itu
membawa madharat bagi keluarga si mayyit.
Hukum dalam fiqh itu sarat dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan
perbedaan ini juga ditemui dalam hukum membaca Alquran bagi wanita haid.
Adapun fatwa keharaman membaca Alqur’an saat haid adalah fatwa yang
masyhur dalam madzhab Syafi’i. Sedang fatwa dalam madzhab Hanafi, Maliki
dan Hanbali bercabang dalam 2 pandangan, ada yang mengharamkan dan
sebagian menganggapnya boleh.
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca
Qur’an orang yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”.
(H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini dishahihkan Imam
Turmudzi namun dianggap dhaif oleh kebanyakan ahli hadits.
Namun pandangan yang menetapkan hukum haram bagi wanita haid untuk
membaca Alquran disamping mempertimbangkan hadits di atas juga mengambil
qiyas dengan keharaman membaca Quran saat junub yang keharamannya lebih
disepakati para ulama. Mengingat tingkat hadats saat haid dan nifas
lebih tinggi dari junub maka sudah sewajarnya hal yang diharamkan bagi
orang junub lebih kuat keharamannya bagi wanita haid.
Meski demikian, fatwa yang mengharamkan membaca Alquran pun memberikan pengecualian untuk hal-hal tertentu, a.l. :
1. Bacaan Alquran yang sudah lazim tidak dianggap Alquran
karena berfungsi sebagai dzikir atau doa. Misalnya bacaan basmalah
sebelum makan, istirja’ (innaa lillaahi dst) saat ada musibah, doa sapu
jagad (rabbanaa aatinaa fiddunyya dst).
2. Bacaan Alquran untuk kepentingan dirasah (pembelajaran)
yang sifatnya dharury (wajib dikuasai segera) semisal bacaan fatihah
untuk kepentingan shalat.
Karenanya untuk kasus belajar membaca Alquran yang sifatnya tidak
dharury menurut hemat saya lebih baik dihentikan sementara. Dengan
pertimbangan bahwa meskipun tidak mengesampingkan adanya pendapat
bolehnya membaca Quran bagi wanita haid, khuruj minal khilaf (keluar
dari perbedaan) dengan mengambil fatwa yang lebih berhati-hati layak
untuk diutamakan. Apalagi belajar dalam hal ini sifatnya anjuran
sehingga wajar dikalahkan demi menghindari keharaman.
Bisa dikatakan demikian, namun budaya yang bermaterikan nilai ibadah
semisal bacaan Alquran dan dzikir tentu merupakan kebaikan sesuai dengan
perintah untuk melazimkan (membiasakan) ibadah meskipun hanya sesuatu
yang kecil. Hanya pemahaman yang banyak dikelirukan adalah anggapan
bahwa 100 hari atau setahun, dll itulah yang dianggap ibadah padahal
ibadah yang sesungguhnya adalah tilawah, dzikir dan doa. Sering di
kampung kalau ditanya : bikin acara apa? maka jawabannya nyatus (100
hari) atau haul (setahun) dengan anggapan bahwa nyatus dan haul itulah
yang bernilai ibadah.
Padahal itu hanya penetapan
momen/waktu yang mubah, sedang ibadah sesungguhnya adalah dzikir, doa,
dsb yang pelaksanaannya tidak mesti menunggu momen tertentu tetapi
selayaknya dilakukan secara istiqamah setiap saat.
Membaca yasin atau surah tertentu
Membaca Alquran sama halnya dengan dzikir, ia sunnah dibaca kapan
saja di mana saja dengan sedikit pembatasan, semisal haram bagi wanita
haid/nifas atau orang sedang junub (hadats besar), makruh dibaca di
tempat yang sering kotor seperti WC. Selebihnya tidak ada pembatasan
waktu maupun tempat. Yasin adalah bagian dari Alquran yang tentunya
hukum membacanya sama dengan membaca Alquran.
Kaitannya dengan bacaan yasin untuk jenazah, sunnahnya
adalah saat ada seseorang menjelang skaratul maut, keluarga/handai
taulan hendaknya membacakannya surah yasin bukan saat sudah meninggal,
akan tetapi apabila surah yasin dibaca saat seseorang sudah meninggal
itu juga tidak mengapa dan hukum sunnahnya mengikuti kesunnahan umum
membaca Alquran meski tidak mendapatkan sunnah khusus bacaan saat orang
sakaratul maut.
Kalau ada yang berkata membaca tahlil/yasin bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah maka pernyataan tersebut
terhapuskan
oleh perintah berdzikir/tilawah Quran yang bersifat umum. Artinya
membaca Alquran (termasuk yasin) dan dzikir (termasuk tahlil) selamanya
adalah sunnah, kapan saja dan dimana saja kecuali ada dalil qath’i
tentang pelarangannya dari Quran atau hadits seperti larangan bagi
wanita haid.
Adapun mengkhususkan yasin atau surat yang dibaca memang
tidak dianjurkan dan makruh jika memang hanya surat tertentu itu saja
yang dibaca tanpa pernah membaca surah lain dalam Alquran. Perlu
digarisbawahi bahwa hukum makruh tersebut bukan dalam bacaan yasinnya
namun pada tindakan “pengkhususannya”. Sedang bacaan yasinnya tetap
sunnah sebagaimana hukum umum membaca Alquran. Karena itu
pengkhususan yang biasa dilakukan di wilayah kita bukanlah hal
terlarang, apalagi hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa
masyarakat yang belum mampu membaca surah lain sebaik yasin. Tentu tetap
perlu mengembangkan pembelajaran kepada masyarakat namun hal tersebut
bisa saja dilakukan dengan jalur lain semisal melalui kajian-2 tajwid
dan qira’ah.
tambahan catatan kecil :
- Tahlilan adalah bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah
meninggal dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau
majlis-majlis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni
dosanya oleh Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah
thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil dan ayat-ayat suci Al Qur’an
- Tahlilan bukanlah bid’ah, karena tahlil sebenarnya do’a yang bisa
dilakukan oleh semua kalangan baik secara perindividu ataupun jama’ah,
tetapi karena di Indonesia tahlilan terbiasa dilakukan secara
berjama’ah, maka menjadi kebiasaan atau adat. Seperti dalam ushul
fiqhnya “Al Adatu Muhkamatun” kebiasaan bisa dijadikan hukum.
- Tahlilan juga merupakan wahana silaturrahmi yang bisa mengeratkan tali persaudaraan antara sesama ummat islam.
- Tahlilan juga bisa menjadi pelipur hati bagi keluarga yang sedang terkena musibah.
sedikit saran bagi yang sering menyelisih tentang tahlilan
- selalu mengintropeksi diri, apakah sudah benar perbuatan kita sesuai
dengan tuntutan Rosulullah ataukah belum sesuai, karena tidak
dibenarkan kita selalu mencari-cari kesalahan orang lain atau golongan
lain.
- telitilah, kajialah, belajarlah lagi dan lagi, sering kebenaran itu
menyentuh hatimu, coba telitilah tahlilan secara adil dan menyeluruh
- Biasakanlah lisan kita untuk selalu berdzikir dengan kalimat Tahlil,
Tahmid, Tasbih dan Takbir. karena lisan yang terbiasa digunakan untuk
berdzikir dapat mencerminkan hati yang bersih. Dan dengan harapan ketika
ruh terlepas dari jasad kita kata yang terakhir diucapkan adalah
kalimat tahlil.
- yuk podo ngaji bareng-bareng, maring para kyai, para ulama untuk memantapkan iman dan aqidah kita,
- jangan merasa paling benar, sehingga sering menghujat dan
menyalahkan yang lain. bahkan begtu gampanya membid”ahkan, mencap kafir
muslim lainnya, astaqfirullah,..
- islam itu cahaya, maka jadikanlah ia cahaya penerang untuk didunia dan akheratmu
bagaimana kawan, masih ada yang membidahkah sesat
tahlilan dan yasinan… padahal banyak sekali manfaatnya…semoga Allah
ilhamkan pemahaman yg dalam bagi yang masih dangkal pemahaman ilmunya…
mari kita terus mengkaji ilmu Allah untuk mengkuatkan iman dan akidah kita,
semoga dapat membuka hati orang-orang yang seringnya keras hatinya….
tak ada satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil, (acara
berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur?an,
tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam
Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ngada dari kesempitan
pemahamannya.
jangan hanya dalil tentang bid’ah saja yang diperdebatkan, sedangkan dirinya sendiri tidak paham apa maksud dari bid’ah
semoga bermanfaat,
untuk guru-guruku, ya Allah lapangkan kuburnya..karena ilmunya,
Wassalmu'alaikum. Wr. Wb